Pagi
yang cerah, tidak ada sedikit pun awan mendung di langit. Semesta menyapaku ramah. Aku menjalani hariku seperti biasanya.
Berangkat sekolah dengan malas-malasan, berharap beberapa guru absen saat
pelajaran. Aku sama seperti teman-temanku, membedakan antara sekolah dan rumah,
jadi aku jarang mengerjakan PR di rumah, karena bagiku rumah adalah tempat
untuk istirahat dan sekolah tempat untuk belajar dan berkumpul bersama
teman-teman.
Banyak guru yang bilang bahwa
belajar itu tidak hanya di sekolah, di luar sekolah pun kita bisa belajar dari
berbagai peristiwa dan kejadian di sekitarku. Jika di luar sekolah kita juga
belajar, lantas mengapa kita sekolah? Sama-sama belajar kan?
Namaku Ste, aku tidak begitu normal,
tapi tidak dalam artian ‘gila’ aku hanya menjadi lebih unik dari teman-temanku,
dan itulah yang membuatku spesial, karena aku berbeda.
Para remaja normal biasanya saat
liburan mereka berbelanja, jalan-jalan ke mall, dan kegiatan lainnya. Berbeda
denganku, aku lebih suka main ke laut. Rumahku memang dekat dengan pantai.
Kenapa pantai? Karena pantai adalah tempatku, imajinasiku, khayalanku, dan hidupku. Tempat ini sangat indah. Karena terpencil,
tidak banyak wisatawan berkunjung, hal itu membuat pantai ini semakin sedap
dipandang.
Aku hampir tidak punya waktu di
rumah, aku menghabiskan setengah hariku untuk sekolah yang membosankan dan
sisanya kuhabiskan di pantai.
Pagi ini aku berangkat ke sekolah
tanpa semangat seperti biasa. Ketika
aku membuka pintu ruang kelas, teman sekelasku menatapku.
“Halo Princess,” sapa Tony, temanku.
“Hah? Princess? Apaan tuh?” tanyaku
bingung.
“Ciee, pacarnya Reno udah dateng,”
kata Fani.
“Ha?!” aku makin bingung dengan
teman-temanku. Apa ada gosip baru? Aku dengan Reno? Salah satu cowok paling
terkenal di sekolah? Yang benar saja? Aku pun memasang wajah bertanya-tanya.
“Siapa yang menyebarkan gosip itu?”
“Selamat pagi,” sapa Reno dari
belakangku.
“Nah! Pas banget! Ada Princess, ada
Prince,” kata Tony.
“Hm?” Reno juga tampak bingung
dengan situasinya saat ini.
“Ste itu, pacar kamu kan,” balas
Tony.
“Nah Lo! Ketahuan!”
“Stee... kok kamu bisa sama Reno
sih..?”
“Pajak jadian! Pajak jadian!”
“Hayoo.. mana pajaknya? Biar
langgeng.”
Kelas menjadi ribut. “Eh, enggak
kok, ng.. itu Cuma gosip.. aku nggak pacaran sama Reno kok.. gosip itu...”
kataku terbata-bata.
“Iya, kita emang pacaran kok, kalian
mau pajak apa?” Reno menyela pembicaraanku.
Kelas menjadi hening. Aku terkejut
mendengar perkataan Reno, aku menengok kearah Reno dengan wajah terkejut. Reno
menatap wajahku dan tersenyum.
“Yeah! Reno traktiran! Ayo ke
kantin!” seru Tony.
“Ayo..!!” seluruh siswa di kelas pun
keluar dan pergi ke kantin. Hanya tinggal aku dan Reno di kelas.
“Masalah selesai!” ujar Reno.
Aku menoleh kearah Reno. “Apa
maksudmu?”
“Maksud apa?” tanya Reno dengan
wajah polos.
“Apa maksudmu ‘masalah selesai’?” tanyaku.
“Ah, tidak apa-apa kok,”
“Kenapa kamu bilang kita pacaran?”
tanyaku.
“Karena nggak ada gunanya menyangkal
perkataan mereka, mereka bakal terus jodoh-jodohin kita, jadi gue bilang aja
kalau kita pacaran,” jawab Reno.
“Jadi kita pura-pura pacaran?”
tanyaku.
“Yups!”
Aku diam dan mengiyakan perkataan
Reno. Dalam hatiku berkata “Sialan nih
anak!”
“Ayo ke kantin sebelum mereka
menghabiskan seluruh isi kantin,” ajak Reno. “Oh ya, ngomong-ngomong lo bawa
dompet nggak?”
“Bawa, kenapa?”
“Gue pinjem duit lo dulu ya, gue gak
bawa duit nih,” kata Reno.
“Duitku nggak banyak, nggak bakal
cukup buat bayarin pajak,” balasku.
“Ngutang dulu deh, Mbak penjaga
kantin kan baik.”
Aku masih belum bisa mempercayai hal
ini. Cowok terpopuler di SMAN 48 pura-pura pacaran denganku. Sejak saat itu
kami pulang bareng, istirahat bareng, sering keluar bareng dan itu cuma akting.
Suatu saat temanku bertanya padaku.
“Gue gak percaya, gimana bisa lo
pacaran sama Reno?” tanya Sera.
“Ng... nggak gimana-gimana,”
jawabku.
“Yang nembak siapa? Lo atau Reno?”
“Reno.”
Sera terkejut mendengar jawabanku.
Siapapun pasti mengira aku yang menyukai Reno, bukan sebaliknya. Reno memang
tampan, tapi aku hanya bisa mengaguminya saja, tidak pernah ada perasaan lebih.
Saat pulang sekolah, aku pergi
bersama Reno. Dia tiba-tiba mengajakku ke pusat kota. Aku tidak tahu apa
tujuannya, aku hanya mengikutinya saja. Aku dan Reno pergi ke pusat kota dengan
berjalan kaki. Banyak hal kami lakukan disana, Reno mengajakku ke toko buku.
Dia membeli banyak buku tentang psikologi, saat aku bertanya ‘kenapa?’ Reno
menjawab sambil tersenyum ke arahku ‘Karena aku ingin masuk jurusan psikologi
saat kuliah nanti’ Reno masih kelas 1 SMA tapi dia sudah memikirkan apa yang
akan dilakukannya di masa mendatang.
Setelah ke toko buku, Reno
mengajakku mampir ke cafe di pinggir jalan. Dia memintaku memesan sesuatu dan
dia mengatakan akan membayar semuanya. Aku merasa tak enak pada Reno, akhirnya
aku hanya memesan secangkir kopi hitam.
“Kopi hitam? Lo mau lembur malam
ini?” tanya Reno.
“Lembur apa?” aku balik bertanya.
“Ya... mungkin belajar, atau nonton
film?” balas Reno.
“Belajar? Sejak kapan kulakukan
itu?”
“Haha.. lo nggak pernah belajar ya?
Pantes nilai lo rendah, haha...” Reno menertawakanku.
Aku ikut tertawa, aku tahu dia hanya
bercanda. Tapi memang benar nilaiku selalu buruk terutama pelajaran yang perlu
banyak menghafal, aku lemah dihafalan.
Selesai meminum secangkir kopi
hitam, Reno mengajakku ke sebuah toko alat tulis. Dia ingin menemui teman
lamanya, teman Reno adalah pemilik toko alat tulis tersebut. Namanya Lisa, dia
wanita yang sangat cantik. Aku berfikir bahwa dia adalah pacar Reno.
“Hai Lis,” sapa Reno.
“Reno! Lama nggak ketemu kamu, apa
kabar?” tanya Lisa.
“Baik, kamu?”
“Baik juga,” balas Reno. Mereka
tampak sangat akrab.
“Ada perlu apa?” tanya Lisa.
“Cuma mau kasih tau kalo rumah aku
pindah, aku kasih alamatnya. Nanti kalo kamu kirim barang biar nggak salah
alamat,” jawab Reno.
“Ohh, asik dong, rumah kamu sekarang
deket sama laut,” kata Lisa.
“Ya.. begitulah, pemandangannya
disana indah,” balas Reno. “Udah ya, aku pulang dulu, keburu malem nih.”
“Oh, ya, bye!”
“Bye!”
Aku dan Reno pun keluar dari toko
alat tulis.
“Tadi ngomongin apa sih?” tanyaku.
“Gue disuruh bapak ngabarin kalo rumah
gue pindah, biar Lisa nggak nyasar waktu kirim barang,” jawab Reno.
“Kirim barang?”
“Ya, tokonya Lisa jual alat tulis
grosir dan terima jasa antar. Bapak sering pesen alat tulis buat kantornya,”
jawab Reno.
Aku diam dan mengikuti Reno pulang.
Pusat kota cukup jauh dari rumah, jadi akan makan banyak waktu.
Tiba-tiba hujan turun.
“Ah! Gue lupa nggak bawa payung!”
kata Reno dengan wajah polos. Rasanya aku ingin tertawa melihat wajah polos
Reno.
Hujan semakin deras. Reno
memayungiku dengan jaketnya. Aku begitu dekat dengannya saat ini. Aroma tubuh
Reno tercium seperti bau parfum pria. Jantungku berdegup kencang. Setelah semua
yang terjadi sepertinya aku menyukai Reno. Aku diam memandangi wajah Reno yang
basah kuyup. Langkahku pun melambat.
“Hei! Lo kenapa?” tanya Reno.
“Eh.. eng.. enggak kok,” jawabku.
“Lama lo ah!” kata Reno lalu
berjongkok di depanku dan menggendongku di punggungnya.
“Tu... tunggu, Ren!”
“Udah nggak apa-apa, biar cepet!”
Reno berlari kencang sambil
menggendongku. Reno memang seorang atlet lari, tidak heran jika larinya sangat
kencang. Walaupun sudah berlari dan menutupi tubuh dengan jaket, kami tetap
basah sampai di rumah. Walau basah sampai di rumah, hari ini menjadi hari yang
menyenangkan bagiku, dan hari ini juga aku menyadari bahwa aku menyukai Reno.
Cahaya
matahari mendobrak jendelaku. Aku segera bangun dan bersiap pergi ke sekolah.
Jika hari sebelumnya aku malas untuk berangkat, hari ini aku sangat bersemangat untuk sekolah. Aku mengunggu
Reno dan Tony menghampiriku dan berangkat bersama.
Sampai di sekolah, seperti biasa
Reno menyapa teman sekelas. Sera memanggil Reno, Reno pun menghampiri kerumunan
perempuan yang memanggilnya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Reno
terlihat seperti cowok populer pada umumnya. Mereka biasanya playboy, aku tidak tahu dengan Reno,
tapi dia terlihat seperti itu ketika dikerumuni perempuan. Aku agak cemburu.
Saat pulang sekolah, aku mencari
Reno. Dia berada di gerbang sekolah bersama seseorang. Itu Lisa, apa yang dia
lakukan di sini? Lisa menggandeng tangan Reno dan Reno tampak malu-malu. Mereka
tampak begitu mesra, hatiku sakit.
Dari sekolah aku langsung ke pantai,
aku yang tengah sakit hati ingin menikmati indahnya laut dan melupakan segala
kegalauanku. Matahari terbenam begitu indah. Aku melihat bayangan dua orang di
kejauhan. Itu Reno dan Lisa, mereka duduk bersama menikmati matahari terbenam
sama sepertiku. Usahaku melupakan rasa sakitku pun gagal, aku justru merasa
tambah sakit.
Malamnya aku tidak bisa tidur. Aku
tak bisa berhenti memikirkan Reno. Mungkin Reno dan Lisa memang pacaran. Tapi
Reno bilang Lisa Cuma teman lama, wajahnya dapat dipercaya, tidak mungkin dia
berbohong. Besok hari Minggu, aku mengambil ponselku dan mengirim pesan ke
Reno. Aku mengajaknya bertemu di pantai besok.
Esoknya aku bertemu dengan Reno. Dia
menunggu di dekat mercusuar, aku pun
menghampirinya.
“Hai Ren,” sapaku.
“Hai Ste, ada apa nih?” tanya Reno.
“Aku mau ngomongin sesuatu,” kataku.
“Apa itu?” tanya Reno.
“A... aku... suka, sama, kamu.”
Reno bingung mau menjawab apa.
Ketika Reno hendak bicara aku menyelanya. “Kalau kamu nggak bisa juga nggak
apa-apa kok.”
“Maaf,” katanya.
“Iya, nggak apa-apa kok Ren, kamu
cocok sama Lisa kok,” kataku sambil tersenyum menahan tangis.
“Bu... bukan gitu, aku nggak sama
Lisa kok. Biar aku jelasin,” kata Reno. “Sebenernya, seumur hidupku aku belum
pernah merasakan cinta.”
“Eh?!” aku terkejut.
“Iya, aku punya penyakit jantung
koroner. Dokter bilang aku harus menjaganya dari hal-hal yang memacu adrenalin,
aku tidak boleh kelelahan, jantungku juga tidak boleh berdegup terlalu cepat,”
jelas Reno. “Temanku bilang, tanda seseorang yang sedang jatuh cinta itu
jantung akan berdegup cepat setiap memikirkannya, melihatnya, mendengarnya, dan
semua tentangnya. Aku selalu menjaga perasaan itu agar tidak tertarik dengan
seseorang.”
“Bagaimana dengan olahraga? Kau
seorang atlet lari kan?” tanyaku.
“Ya, pertandingan terakhirku
membuatku hampir mati,” jawab Reno.
“Ohh, begitu.”
“Oh ya, apa aku boleh bertanya
sesuatu?”
“Apa itu?”
“Bagaimana rasanya jatuh cinta?
Banyak orang bahagia karenanya, sementara aku justru akan menderita karnanya,”
tanya Reno.
“Jatuh cinta itu, rasanya seperti
ada ribuan kupu-kupu berterbangan di dalam perutmu. Lalu, jika kau
mengingatnya, memikirkannya, atau melihatnya kupu-kupu itu akan seperti terbang
ke dadamu, rasanya seperti ada sesuatu yang memberatkan di hati,” jawabku.
“Hanya itu? Kelihatannya tidak ada
yang spesial,” balas Reno dengan wajah polosnya.
“Itu karena kamu belum pernah
merasakannya,” kataku lalu tertawa, Reno pun ikut tertawa.
Kisahku dengan Reno berakhir dihari
itu. Aku merasa lega telah mengungkapkan perasaanku padanya. Kita tetap
berteman, bahkan Reno menjadi sahabat baikku. Dan dia tetap menjaga perasaannya
agar tidak jatuh cinta.
aku tidak begitu normal, tapi tidak dalam artian ‘gila’ aku hanya menjadi lebih unik dari teman-temanku, dan itulah yang membuatku spesial, karena aku berbeda.
BalasHapuskalimat yang paling berkesan ^_^ nice story
Itu deskripsi dari diri saya sebenarnya, terimakasih komentarnya...
HapusJangan lupa beri makan ikannya ya...^^