Selasa, 19 Februari 2013

Sorry, I Can't



 Pagi yang cerah, tidak ada sedikit pun awan mendung di langit. Semesta menyapaku ramah. Aku menjalani hariku seperti biasanya. Berangkat sekolah dengan malas-malasan, berharap beberapa guru absen saat pelajaran. Aku sama seperti teman-temanku, membedakan antara sekolah dan rumah, jadi aku jarang mengerjakan PR di rumah, karena bagiku rumah adalah tempat untuk istirahat dan sekolah tempat untuk belajar dan berkumpul bersama teman-teman.
            Banyak guru yang bilang bahwa belajar itu tidak hanya di sekolah, di luar sekolah pun kita bisa belajar dari berbagai peristiwa dan kejadian di sekitarku. Jika di luar sekolah kita juga belajar, lantas mengapa kita sekolah? Sama-sama belajar kan?
            Namaku Ste, aku tidak begitu normal, tapi tidak dalam artian ‘gila’ aku hanya menjadi lebih unik dari teman-temanku, dan itulah yang membuatku spesial, karena aku berbeda.
            Para remaja normal biasanya saat liburan mereka berbelanja, jalan-jalan ke mall, dan kegiatan lainnya. Berbeda denganku, aku lebih suka main ke laut. Rumahku memang dekat dengan pantai. Kenapa pantai? Karena pantai adalah tempatku, imajinasiku, khayalanku, dan hidupku. Tempat ini sangat indah. Karena terpencil, tidak banyak wisatawan berkunjung, hal itu membuat pantai ini semakin sedap dipandang.
            Aku hampir tidak punya waktu di rumah, aku menghabiskan setengah hariku untuk sekolah yang membosankan dan sisanya kuhabiskan di pantai.
            Pagi ini aku berangkat ke sekolah tanpa semangat seperti biasa. Ketika aku membuka pintu ruang kelas, teman sekelasku menatapku.
            “Halo Princess,” sapa Tony, temanku.
            “Hah? Princess? Apaan tuh?” tanyaku bingung.
            “Ciee, pacarnya Reno udah dateng,” kata Fani.
            “Ha?!” aku makin bingung dengan teman-temanku. Apa ada gosip baru? Aku dengan Reno? Salah satu cowok paling terkenal di sekolah? Yang benar saja? Aku pun memasang wajah bertanya-tanya. “Siapa yang menyebarkan gosip itu?”
            “Selamat pagi,” sapa Reno dari belakangku.
            “Nah! Pas banget! Ada Princess, ada Prince,” kata Tony.
            “Hm?” Reno juga tampak bingung dengan situasinya saat ini.
            “Ste itu, pacar kamu kan,” balas Tony.
            “Nah Lo! Ketahuan!”
            “Stee... kok kamu bisa sama Reno sih..?”
            “Pajak jadian! Pajak jadian!”
            “Hayoo.. mana pajaknya? Biar langgeng.”
            Kelas menjadi ribut. “Eh, enggak kok, ng.. itu Cuma gosip.. aku nggak pacaran sama Reno kok.. gosip itu...” kataku terbata-bata.
            “Iya, kita emang pacaran kok, kalian mau pajak apa?” Reno menyela pembicaraanku.
            Kelas menjadi hening. Aku terkejut mendengar perkataan Reno, aku menengok kearah Reno dengan wajah terkejut. Reno menatap wajahku dan tersenyum.
            “Yeah! Reno traktiran! Ayo ke kantin!” seru Tony.
            “Ayo..!!” seluruh siswa di kelas pun keluar dan pergi ke kantin. Hanya tinggal aku dan Reno di kelas.
            “Masalah selesai!” ujar Reno.
            Aku menoleh kearah Reno. “Apa maksudmu?”
            “Maksud apa?” tanya Reno dengan wajah polos.
            “Apa maksudmu ‘masalah selesai’?” tanyaku.
            “Ah, tidak apa-apa kok,”
            “Kenapa kamu bilang kita pacaran?” tanyaku.
            “Karena nggak ada gunanya menyangkal perkataan mereka, mereka bakal terus jodoh-jodohin kita, jadi gue bilang aja kalau kita pacaran,” jawab Reno.
            “Jadi kita pura-pura pacaran?” tanyaku.
            “Yups!”
            Aku diam dan mengiyakan perkataan Reno. Dalam hatiku berkata “Sialan nih anak!”
            “Ayo ke kantin sebelum mereka menghabiskan seluruh isi kantin,” ajak Reno. “Oh ya, ngomong-ngomong lo bawa dompet nggak?”
            “Bawa, kenapa?”
            “Gue pinjem duit lo dulu ya, gue gak bawa duit nih,” kata Reno.
            “Duitku nggak banyak, nggak bakal cukup buat bayarin pajak,” balasku.
            “Ngutang dulu deh, Mbak penjaga kantin kan baik.”
            Aku masih belum bisa mempercayai hal ini. Cowok terpopuler di SMAN 48 pura-pura pacaran denganku. Sejak saat itu kami pulang bareng, istirahat bareng, sering keluar bareng dan itu cuma akting.
            Suatu saat temanku bertanya padaku.
            “Gue gak percaya, gimana bisa lo pacaran sama Reno?” tanya Sera.
            “Ng... nggak gimana-gimana,” jawabku.
            “Yang nembak siapa? Lo atau Reno?”
            “Reno.”
            Sera terkejut mendengar jawabanku. Siapapun pasti mengira aku yang menyukai Reno, bukan sebaliknya. Reno memang tampan, tapi aku hanya bisa mengaguminya saja, tidak pernah ada perasaan lebih.
            Saat pulang sekolah, aku pergi bersama Reno. Dia tiba-tiba mengajakku ke pusat kota. Aku tidak tahu apa tujuannya, aku hanya mengikutinya saja. Aku dan Reno pergi ke pusat kota dengan berjalan kaki. Banyak hal kami lakukan disana, Reno mengajakku ke toko buku. Dia membeli banyak buku tentang psikologi, saat aku bertanya ‘kenapa?’ Reno menjawab sambil tersenyum ke arahku ‘Karena aku ingin masuk jurusan psikologi saat kuliah nanti’ Reno masih kelas 1 SMA tapi dia sudah memikirkan apa yang akan dilakukannya di masa mendatang.
            Setelah ke toko buku, Reno mengajakku mampir ke cafe di pinggir jalan. Dia memintaku memesan sesuatu dan dia mengatakan akan membayar semuanya. Aku merasa tak enak pada Reno, akhirnya aku hanya memesan secangkir kopi hitam.
            “Kopi hitam? Lo mau lembur malam ini?” tanya Reno.
            “Lembur apa?” aku balik bertanya.
            “Ya... mungkin belajar, atau nonton film?” balas Reno.
            “Belajar? Sejak kapan kulakukan itu?”
            “Haha.. lo nggak pernah belajar ya? Pantes nilai lo rendah, haha...” Reno menertawakanku.
            Aku ikut tertawa, aku tahu dia hanya bercanda. Tapi memang benar nilaiku selalu buruk terutama pelajaran yang perlu banyak menghafal, aku lemah dihafalan.
            Selesai meminum secangkir kopi hitam, Reno mengajakku ke sebuah toko alat tulis. Dia ingin menemui teman lamanya, teman Reno adalah pemilik toko alat tulis tersebut. Namanya Lisa, dia wanita yang sangat cantik. Aku berfikir bahwa dia adalah pacar Reno.
            “Hai Lis,” sapa Reno.
            “Reno! Lama nggak ketemu kamu, apa kabar?” tanya Lisa.
            “Baik, kamu?”
            “Baik juga,” balas Reno. Mereka tampak sangat akrab.
            “Ada perlu apa?” tanya Lisa.
            “Cuma mau kasih tau kalo rumah aku pindah, aku kasih alamatnya. Nanti kalo kamu kirim barang biar nggak salah alamat,” jawab Reno.
            “Ohh, asik dong, rumah kamu sekarang deket sama laut,” kata Lisa.
            “Ya.. begitulah, pemandangannya disana indah,” balas Reno. “Udah ya, aku pulang dulu, keburu malem nih.”
            “Oh, ya, bye!”
            “Bye!”
            Aku dan Reno pun keluar dari toko alat tulis.
            “Tadi ngomongin apa sih?” tanyaku.
            “Gue disuruh bapak ngabarin kalo rumah gue pindah, biar Lisa nggak nyasar waktu kirim barang,” jawab Reno.
            “Kirim barang?”
            “Ya, tokonya Lisa jual alat tulis grosir dan terima jasa antar. Bapak sering pesen alat tulis buat kantornya,” jawab Reno.
            Aku diam dan mengikuti Reno pulang. Pusat kota cukup jauh dari rumah, jadi akan makan banyak waktu.
            Tiba-tiba hujan turun.
            “Ah! Gue lupa nggak bawa payung!” kata Reno dengan wajah polos. Rasanya aku ingin tertawa melihat wajah polos Reno.
            Hujan semakin deras. Reno memayungiku dengan jaketnya. Aku begitu dekat dengannya saat ini. Aroma tubuh Reno tercium seperti bau parfum pria. Jantungku berdegup kencang. Setelah semua yang terjadi sepertinya aku menyukai Reno. Aku diam memandangi wajah Reno yang basah kuyup. Langkahku pun melambat.
            “Hei! Lo kenapa?” tanya Reno.
            “Eh.. eng.. enggak kok,” jawabku.
            “Lama lo ah!” kata Reno lalu berjongkok di depanku dan menggendongku di punggungnya.
            “Tu... tunggu, Ren!”
            “Udah nggak apa-apa, biar cepet!”
            Reno berlari kencang sambil menggendongku. Reno memang seorang atlet lari, tidak heran jika larinya sangat kencang. Walaupun sudah berlari dan menutupi tubuh dengan jaket, kami tetap basah sampai di rumah. Walau basah sampai di rumah, hari ini menjadi hari yang menyenangkan bagiku, dan hari ini juga aku menyadari bahwa aku menyukai Reno.
            Cahaya matahari mendobrak jendelaku. Aku segera bangun dan bersiap pergi ke sekolah. Jika hari sebelumnya aku malas untuk berangkat, hari ini aku sangat bersemangat untuk sekolah. Aku mengunggu Reno dan Tony menghampiriku dan berangkat bersama.
            Sampai di sekolah, seperti biasa Reno menyapa teman sekelas. Sera memanggil Reno, Reno pun menghampiri kerumunan perempuan yang memanggilnya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Reno terlihat seperti cowok populer pada umumnya. Mereka biasanya playboy, aku tidak tahu dengan Reno, tapi dia terlihat seperti itu ketika dikerumuni perempuan. Aku agak cemburu.
            Saat pulang sekolah, aku mencari Reno. Dia berada di gerbang sekolah bersama seseorang. Itu Lisa, apa yang dia lakukan di sini? Lisa menggandeng tangan Reno dan Reno tampak malu-malu. Mereka tampak begitu mesra, hatiku sakit.
            Dari sekolah aku langsung ke pantai, aku yang tengah sakit hati ingin menikmati indahnya laut dan melupakan segala kegalauanku. Matahari terbenam begitu indah. Aku melihat bayangan dua orang di kejauhan. Itu Reno dan Lisa, mereka duduk bersama menikmati matahari terbenam sama sepertiku. Usahaku melupakan rasa sakitku pun gagal, aku justru merasa tambah sakit.
            Malamnya aku tidak bisa tidur. Aku tak bisa berhenti memikirkan Reno. Mungkin Reno dan Lisa memang pacaran. Tapi Reno bilang Lisa Cuma teman lama, wajahnya dapat dipercaya, tidak mungkin dia berbohong. Besok hari Minggu, aku mengambil ponselku dan mengirim pesan ke Reno. Aku mengajaknya bertemu di pantai besok.
            Esoknya aku bertemu dengan Reno. Dia menunggu di dekat mercusuar, aku pun menghampirinya.
            “Hai Ren,” sapaku.
            “Hai Ste, ada apa nih?” tanya Reno.
            “Aku mau ngomongin sesuatu,” kataku.
            “Apa itu?” tanya Reno.
            “A... aku... suka, sama, kamu.”
            Reno bingung mau menjawab apa. Ketika Reno hendak bicara aku menyelanya. “Kalau kamu nggak bisa juga nggak apa-apa kok.”
            “Maaf,” katanya.
            “Iya, nggak apa-apa kok Ren, kamu cocok sama Lisa kok,” kataku sambil tersenyum menahan tangis.
            “Bu... bukan gitu, aku nggak sama Lisa kok. Biar aku jelasin,” kata Reno. “Sebenernya, seumur hidupku aku belum pernah merasakan cinta.”
            “Eh?!” aku terkejut.
            “Iya, aku punya penyakit jantung koroner. Dokter bilang aku harus menjaganya dari hal-hal yang memacu adrenalin, aku tidak boleh kelelahan, jantungku juga tidak boleh berdegup terlalu cepat,” jelas Reno. “Temanku bilang, tanda seseorang yang sedang jatuh cinta itu jantung akan berdegup cepat setiap memikirkannya, melihatnya, mendengarnya, dan semua tentangnya. Aku selalu menjaga perasaan itu agar tidak tertarik dengan seseorang.”
            “Bagaimana dengan olahraga? Kau seorang atlet lari kan?” tanyaku.
            “Ya, pertandingan terakhirku membuatku hampir mati,” jawab Reno.
            “Ohh, begitu.”
            “Oh ya, apa aku boleh bertanya sesuatu?”
            “Apa itu?”
            “Bagaimana rasanya jatuh cinta? Banyak orang bahagia karenanya, sementara aku justru akan menderita karnanya,” tanya Reno.
            “Jatuh cinta itu, rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu berterbangan di dalam perutmu. Lalu, jika kau mengingatnya, memikirkannya, atau melihatnya kupu-kupu itu akan seperti terbang ke dadamu, rasanya seperti ada sesuatu yang memberatkan di hati,” jawabku.
            “Hanya itu? Kelihatannya tidak ada yang spesial,” balas Reno dengan wajah polosnya.
            “Itu karena kamu belum pernah merasakannya,” kataku lalu tertawa, Reno pun ikut tertawa.
            Kisahku dengan Reno berakhir dihari itu. Aku merasa lega telah mengungkapkan perasaanku padanya. Kita tetap berteman, bahkan Reno menjadi sahabat baikku. Dan dia tetap menjaga perasaannya agar tidak jatuh cinta. 

Jumat, 15 Februari 2013

Gado-Gado Cinta

            Aku Ocha. Dan aku suka dengan kehidupan ini. Jika banyak dari temanku ingin segera mati, maka aku akan berkata ‘Kenapa tidak kau berikan saja sisa hidupmu padaku? Aku masih ingin hidup lebih lama’ dan temanku selalu bingung ketika kukatakan begitu.
            Mengapa aku ingin hidup lama? Jawabannya adalah karena hanya disini aku bisa merasakan asam, asin, pahit, manis, bahkan umami dari kehidupan. Dan akan jadi gado-gado jika semua itu dicampurkan. Bukankah gado-gado itu enak? Begitu juga kehidupan, terutama cinta, sangat menyenangkan. Tapi tidak semua gado-gado itu enak. Kadang keasinan, keasaman, kemanisan, kepahitan, bahkan keumamian (?)
            Aku ingin berbagi sedikit kisah tentang kehidupan cintaku. Semua berawal ketika aku kelas 5 SD. Saat itu memang sedang zamannya di kelasku untuk menyukai teman sebaya yang berlawanan jenis kelamin.
            Aku menyukai seseorang ketika aku duduk di bangku ruang kelas bertuliskan ‘Kelas 5’ saat itu aku belum begitu mengerti tentang perasaan. Aku yang masih anak-anak hanya bisa merasakan kekaguman pada seseorang yang kuanggap menarik. Perasaan itu muncul secara tidak jelas, dan hinggap begitu saja di hatiku. Aku yakin bahwa sinetron dan FTV yang sering tayang di TV ikut peran serta membuatku jadi begini.
            Sialnya, aku merasakan pahit di gado-gadoku yang pertama. Kulihat seorang teman yang juga merupakan teman baikku. Dia dekat dengan orang yang kusukai. Mereka sering bersama. Bahkan ketika rekreasi sebelum lulus SD mereka duduk berdekatan dan kelihatan begitu mesra. Dan sialnya aku juga duduk di dekat situ. Aku yang belum dewasa tidak bisa berbuat apa-apa.
            Semua itu berakhir ketika aku lulus SD. Hingga saat itu perasaanku padanya tak tersampaikan. Aku dan dia bersekolah di tempat yang berbeda. Sekolah yang kududuki saat ini merupakan impianku sejak kelas 5 SD. Jadi tidak mungkin bagiku untuk mengejarnya dan masuk ke sekolah yang sama dengannya.
            Seiring berjalannya waktu, aku pun melupakan perasaanku pada anak itu dan membuka hatiku untuk orang lain. Pada awal kehidupanku di SMP ini, aku merasakan gado-gado yang rasanya asam.
            Aku tipe orang yang suka bergaul. Aku mempunyai banyak kenalan dari kelas lain dari pada teman-temanku. Namun, setiap aku bertemu dengan laki-laki yang membuatku tertarik, selalu saja direbut teman sekelasku.
            Memang kesalahanku. Aku sering membaggakan laki-laki itu di depan teman-temanku sampai mereka tertarik dan minta dikenalkan dengan laki-laki itu. Dan akhirnya temanku yang melakukan pendekatan padanya dan aku tersepak begitu saja. Aku pun berkata dalam hati ‘ASEM banget nih anak!’ hal ini sudah terjadi dua kali secara beruntun.
            Setelah menyantap habis gado-gado dengan rasa asam itu, aku merasakan gado-gado dengan rasa umami. Kau tahu kan kalau umami itu rasanya tidak jelas dan tidak bisa dijelaskan. Seperti yang kurasakan saat menyantapnya. Terjadi kekosongan di hatiku.padahal aku ingin merasakan yang namanya jatuh cinta. Saking parahnya, hampir setiap laki-laki yang kutemui, aku langsung suka dengannya. Parah sekali bukan?
            Di gado-gado umami inilah pertama kalinya aku punya pacar. Waktu itu orang yang baru kukenal menyatakan perasaannya padaku. Aku baru saja berpapasan dengannya sekali, yaitu saat hari terakhir masuk sekolah sebelum liburan.
            Selama liburan dia terus mengirimiku pesan dan menyatakan perasaannya padaku lewat SMS. Tanpa pikir panjang, aku langsung menerimanya sebagai pacarku. Dan ternyata aku merasa tidak nyaman pacaran dengan orang yang tidak benar-benar aku sayangi. Akhirnya aku mengakhiri hubungan kami di hari kedua pacaran. Saat itu aku merasa seperti idiot korban pacar-pacaran. Namun, sejak kejadian itu aku belajar untuk lebih dewasa dalam hal itu.
            Dengan ini gado-gado umami pun berakhir. Hatiku kembali kosong, dan aku akan lebih selektif dan berhati-hati saat memilih orang yang kusukai. Aku tidak ingin kejadian seperti gado-gado umami itu terjadi lagi, menjalin hubungan dengan seseorang tapi tidak sepenuh hati, dan akhirnya menyakiti hati orang tersebut. Terjadi sekali ini saja membuatku merasa seperti orang yang kejam.
            Aku mulai berimajinasi bertemu dengan orang yang kucintai dan bersamanya sambil melihat indahnya pohon sakura. Tapi aku segera sadar bahwa di Indonesia tidak mungkin ada pohon sakura yang tumbuh.
            Setelah umami, gado-gado asin pun tersaji dihadapanku. Kali ini aku merasakan ‘cinta pada pandangan pertama’ dengan seorang pria. Entah kenapa aku bisa menyukai pria itu. Tidak di dekat pohon sakura, melainkan di penjual es buah depan sekolahan. Aku tahu dia berada di organisasi sekolah yang sama denganku, dan dia adalah orang penting di organisasi.
            Kala itu, aku menyimpan perasaanku cukup lama. Aku tidak punya keberanian untuk mengutarakan perasaanku padanya. Aku juga selalu salah tingkah ketika bertemu dengannya. Rasanya benar-benar asin.
            Sejak saat itu aku jadi sering kepikiran si dia, melamun tentang dia, dan lain-lain. Apalagi setelah aku mengetahui bahwa dia sudah punya pacar. Hatiku sakit, rasanya seperti meteor yang tidak habis terbakar dan jatuh tepat di tubuhku. Aku jadi sering galau sendiri. Padahal, aku harus fokus belajar apalagi ketika sedang banyak ujian. Hal itu jelas sangat mengganggu buatku. Dalam rangka mengusir kegalauan dalam diriku, aku pun memberanikan diriku untuk menyatakan perasaanku padanya. Aku merasa lega dan lebih ringan untuk melupakan perasaanku padanya. Dan kita tetap berteman. Dia dengan kehidupan yang dia miliki, dan aku dengan kehidupan yang kumiliki.
            Kini, piring hatiku kosong tanpa gado-gado diatasnya. Benar-benar kosong karena tidak seorang pun mengisi hatiku.
            Aku mulai menjalani kembali kehidupan normal anak SMP. Belajar giat dan melupakan sejenak tentang cinta yang selama ini memberatkan pikiranku. Hingga aku merasakan aura aneh dan atmosfir yang berbeda dari seseorang.
            Aku mulai mencari banyak teman sesekolah mulai dari kakak kelas hingga adik kelas. Aku pun menjelajahi dunia maya. Mulai dari Facebook, Twitter, dan mencari nomor HP dari setiap anak terutama pria. Rasanya semakin dekat, dan kelihatannya dia adalah kakak kelasku. Dari semua orang yang kukenal, ada satu orang yang sangat perhatian padaku. Dan ternyata benar dia adalah kakak kelasku. Kita sering berkirim pesan, chatting, curhat-curhat, dan lain-lain. Bahkan kita sempat bertukar ponsel untuk sementara.
            Bukan sekedar suka, tapi aku sudah sayang padanya. Aku ingin dia yang mengisi kekosongan di hatiku. Akhirnya, bertepatan dengan hari jadi sekolahku, kami resmi sebagai sepasang kekasih.
            Dia merupakan pendengar setia dari imajinasi-imajinasi gilaku. Dan dia juga tidak senormal pacar yang biasa orang lain cari. Kami sama-sama memiliki imajinasi tinggi dan ide-ide gila yang selalu membuat kami tertawa sendiri. Tapi ada satu yang tak kumengerti, setiap selesai bercanda dan tertawa lepas, kami selalu lupa akan hal yang membuat kami tertawa. Sadar bahwa tidak mungkin mengingatnya aku tidak mempermasalahkannya.
            Walau gila dan berimajinasi tinggi, dia adalah orang yang spesial, yang mengisi hatiku dikala kosong, dan menawarkan gado-gado cinta yang manis, walaupun aku sendiri tidak tahu bagaimana rasanya gado-gado manis.
            Setelah merasakan berbagai rasa dari gado-gado cinta mulai dari yang tidak enak hingga yang enak. Aku sadar bahwa kehidupan cinta nyata itu tidak sesimpel kehidupan cinta telenovela yang biasa tanyang di TV.

Rabu, 13 Februari 2013

Tekanan Abadi



“Aku suka kamu,” kata Andre tiba-tiba. “Pacaranlah denganku.”
            “Eh?! Kamu serius?” tanyaku, aku tidak yakin dengan apa yang telah dikatakan Andre padaku.
            “Apa kamu meragukanku?” Andre balik bertanya.
            “Eh, bukan begitu,” jawabku.
            “Lalu kenapa bertanya seperti itu?” tanyanya.
            “Yah... kalau orang ditembak biasanya ngomong gitu kan? Aku sih ikut-ikut aja,” balasku.
            “Haha.. Sekar memang lucu, jadi gimana?” Andre bertanya lagi.
            “Ng... kita ketemuan aja ya, nggak enak ngobrol lewat SMS, sekarang di Simpli Cafe ya, aku tunggu,” kataku.
            Andre mengiyakan. Memang kami ngobrol lewat SMS dan tidak kusangka Andre akan mengatakan hal itu. Aku cukup terkejut dengan hal itu. Akhirnya aku bertemu dengannya di Simpli Cafe, dan aku mengatakan ‘ya’ padanya.
            Aku Sekar, dan ini pacarku Andre. Aku seorang mahasiswi, dan Andre pegawai di sebuah perusahaan. Sejak kita pacaran, Andre selalu mengantar jemputku dari kos-an ke universitas. Aku juga punya teman kuliah sekaligus teman se-kos-anku. Namanya Gina, anaknya kreatif dan lucu. Yah.. cukuplah buat hiburan gratis. Gina berasal dari Jawa Timur, jadi gaya bicaranya agak ‘medok’ dan dia juga yang mengenalkan aku dengan Andre, kakak sepupunya.
            “Kamu serius sama Mas Andre?” tanya Gina.
            “Entahlah, aku juga bingung, kita kan deket udah lumayan lama, aku agak tertarik sih sama dia, tapi kayaknya nggak begitu berarti,” jawabku.
            “Mas Andre beken lho di kantornya, cewek-cewek kantornya banyak yang naksir Mas Andre, sayang Maset kalau kamu lewatin kesempatan berharga ini,” kata Gina.
            “Walau dia terkenal di kantornya dan banyak cewek naksir sama dia, belum tentu aku ngerasain hal yang sama,” balasku.
            “Jadi kamu nggak serius sama Mas Andre?” tanya Gina dengan logat Jawanya yang kental.
            “Bukan gitu...!” jawabku.
            “Lha gimana?” tanya Gina.
            “Tau ah, gelap!” balasku. Aku bingung sendiri soal perasaanku.
            “Udahlah, pulang yuk,” ajak Gina, ia diam sejenak lalu berkata, ”oh iya! Kamu kan dijemput Mas Andre.”
            “Tuh, orangnya udah dateng,” kataku.
            Aku pun diantar pulang Andre. Andre langsung mengantarku ke kos-an karena kita tidak punya janji. Dan Andre juga mengajak Gina. Andre cukup kaya, dia selalu menjemputku naik mobil.
            Sesampainya di kos-an aku masuk ke kamar, dan Gina juga ikut masuk ke kamarku.
            “Ngapain kamu ikut masuk ke kamarku?” tanyaku.
            “Jadi aku diusir?” Gina balik bertanya.
            “Ya enggak sih, tapi apa yang kamu lakukan di kamarku?” tanyaku.
            “Ngegosipin Mas Andre,” jawab Gina singkat.
            Aku hanya diam.
            “Jadi, kamu sebenarnya cinta sama Mas Andre nggak?” tanya Gina.
            “Nggak terlalu,” jawabku. “Aku bingung soal perasaanku ke Mas Andre, apa aku putus aja ya?”
            “Kenapa?” tanya Gina. Ia mengambil sebungkus kripik kentang dari lemariku lalu memakannya.
            “Entah, sudah 2 bulan pacaran sama Mas Andre tapi rasanya nggak ada yang spesial gitu,” jawabku.
            “Ohh.. santai aja ingat lirik lagunya Tangga, mungkin cinta kan datang karena terbiasa,”  kata Gina sambil terus melahap kripik kentangku.
            “Iyalah, mungkin aku lanjutin dulu aja,” kataku.
            “Nah! Gitwu dwong!” kata Gina. Mulutnya penuh dengan kripik kentang.
            “Eh Gin,” kataku.
            “Ya?” tanya Gina.
            “Itu bungkus kripik kentang kok kosong?” tanyaku.
            “Ah masa?” kata Gina lalu melihat isi bungkus kripik kentang di tangannya. “Nggak kosong tuh, masih ada udara di dalamnya.”
            “Memangnya perut kamu, kayak pompa angin,” balasku.
            “Nggak tuh, aku langsing kok,” kata Gina.
            “Kata siapa?” tanyaku.
            “Pacarku,” jawab Gina.
            “Jelas, pacar kamu kan rabun dekat,” kataku.
            “Iya sih,” balas Gina. “Ya sudahlah, aku balik ke kamar dulu, daaahh...”
            Gina meninggalkan kamarku dan kembali ke kamarnya. Berkat kata-katanya aku jadi membatalkan niatku untuk putus dengan Andre. Tapi satu yang aku baru tahu, yaitu tujuan Gina ke kamarku adalah ‘kripik kentang’ tapi, dari mana dia tahu kalau ada kripik kentang di lemariku? Radar agen Neptunus? Nggak! Jangan samakan ini dengan film Perahu Karet.
            Ponselku berdering. Telepon dari Andre, aku mengangkatnya.
            “Halo,” sapa Andre.
            “Kenapa Ndre?” tanyaku.
            “Sore ini ada acara nggak?” tanya Andre.
            “Nggak, kenapa?”
            “Ke alun-alun yuk, sekalian cari makan.”
            “Mmm.. boleh,” balasku.
            “Ok, aku jemput ya, bye,” kata Andre lalu menutup teleponnya.
            Tak lama kemudian Andre sampai di kos-anku. Ketika Andre hendak masuk, dia dihadang oleh bapak kos. Bapak kos menatapnya dengan tajam.
            “Laki-laki dilarang masuk!” bentak bapak kos.
            “Lantas mengapa Bapak bisa berada di dalam?” tanya Andre.
            “Itu pengecualian,” kata bapak kos.
            “Bagaimana cara mendapatkan pengecualian tersebut?” tanya Andre.
            “Apa maksud kamu?”
            “Nggak jadi deh Pak,” kata Andre. “Kalau saya nggak bisa masuk bisa tolong panggilkan Sekar?”
            “Enak saja kamu merintah saya!” bentak bapak kos.
            “Ya sudahlah, saya panggil sendiri saja.”
            Bapak kos merasa Andre akan masuk ke dalam. Bapak kos memasang kuda-kuda seperti anak yang hendak bermain ‘gobak sodor’ dan menghalangi Andre. Sementara Andre membuka ponselnya dan menelponku.
            “Eh, apa yang Bapak lakukan?” tanya Andre.
            “Menghalangimu masuk,” jawab bapak kos sambil tetap konsentrasi.
            “Siapa yang mau masuk? Saya manggil Sekar lewat telpon kok,” balas Andre.
            “Eh?” bapak kos membubarkan kuda-kudanya. Dia malu dan salah tingkah ketika mengetahui Andre tidak masuk ke dalam.
            Setelah Andre menelponku aku keluar dan berangkat bersama Andre. Sepanjang perjalanan aku memperhatikan wajah Andre. Dia cukup tampan, pantas wanita sekantornya banyak yang menyukainya. Andre juga orang yang polos dan apa adanya. Tapi kepolosannya tidak menggangguku.
            Ketika sampai di alun-alun Andre mengajakku makan. Dia membelikanku sebungkus nasi goreng dan satu lagi untuk Gina. Andre bukan tipe orang yang membosankan, dia selalu punya topik untuk dibicarakan. Sejak saat itu aku sadar bahwa menerima Andre adalah hal yang benar. Mungkin yang seperti dia hanya ada satu dari lima puluh orang. Aku makin menyayanginya.
            Setelah mengajakku makan, Andre mengantarku pulang ke kos-an. Aku biasanya bersikap dingin ketika Andre pulang dari kos-anku, sekarang aku mulai mengucapkan salam padanya seperti ‘Dah’ ‘sampai ketemu besok’ dan sebangsanya.
            Malamnya aku merasa cukup bosan. Gina ke kamarku dan memakan nasi goreng yang dibelikan Andre. Aku mengambil ponselku dan mengirim pesan ke Andre.
            To : Andre
            Bee.. aku kangen banget sama kamu... :*
            Aku senyum-senyum sendiri setelah pesan itu terkirim.
            “Bee?” tanya Gina. Ternyata dia dari tadi memperhatikanku dari belakang.
            “Itu panggilan sayang,” balasku.
            “Iya, aku tau kok. Tapi kenapa harus bee? Emang Mas Andre lebah apa?” katanya.
            “Haha.. ya enggak lah,” aku membalas kata-kata Gina.
            Ponselku bergetar. Andre membalas pesan dariku.
            From : Andre
            Lho.. tadi sore kan kita baru ketemu Bebz. Di alun-alun, beli nasi goreng. Masa kamu udah lupa sih Bebz?
<3 Sekar
            “Bwahahaha.... Mas Andre, Mas Andre,” Gina tertawa terbahak-bahak.
            “Hahaha... Abangmu polos banget,” aku juga tertawa membaca balansan SMS darinya.
Sudah malam, aku menyuruh Andre segera tidur karena dia harus bekerja besok pagi.
            Hari ini aku menjalani hariku penuh dengan semangat. Hari ini aku janji ketemuan dengan Andre jam 8 malam. Selain bertemu dengan Andre aku juga punya urusan lain di luar, jadi sekalian Andre kusuruh mengantarkanku. Aku menanti saat itu, aku sangat rindu dengannya.
            Jam 8 malam. Aku sudah siap dengan segala persiapan kencanku malam ini. Dan turun hujan lebat, jadi kami membatalkan janji ketemu. Aku sangat kesal, kenapa harus turun hujan? Lagipula aku masih punya urusan. Aku tetap harus keluar meski hujan dan tanpa Andre.
            “Haha... kasihan deh si ratu. Udah dandan rapi dan cantik kayak peri, ternyata hujan dan Andre membatalkan janji,” Gina menertawakanku.
            “Aku sebeelll...!!!” kataku kesal.
            “Aku punya pantun untukmu!” kata Gina.
            “Apa?”
            Cicak kecemplung lengo, kadung macak ora sido lungo.”
            “Apa artinya?”
            “Cicak kecebur minyak, terlanjur dandan gak jadi berangkat.”
            “Sial,” umpatku.
            Aku pun tetap keluar dan hujan-hujan untuk menyelesaikan urusanku. Aku benar-benar kesal malam itu. Tetapi aku tetap tidak bisa marah kepada Andre.
            “Maaf, kemarin aku nggak bisa ngantar kamu,” kata Andre pagi ini.
            “Iya, nggak apa-apa kok. Lagipula kemarin itu hujannya deres banget, nggak mungkin kita bisa keluar bareng,” balasku.
            “Kamu nggak marah kan?”
            “Enggak kok,” jawabku sambil tersenyum.
            Masalah ini kuanggap sudah selesai. Kini setiap hari kami bertemu. Keliling kota, belanja, mengantar Andre ke tempat kerja, jalan-jalan, dan lain-lain. Aku makin cinta dengan Andre. Entah aku bisa bosan dengannya atau tidak. Tapi sepertinya tidak, kepolosannya selalu membuatku tertawa, kebaikannya selalu membuatku nyaman bersamanya. Aku ingin bersamanya selamanya. Mungkin dialah cinta matiku.
            Hari ini adalah ulang tahunku yang ke 22. Aku berharap Andre akan mengajakku keluar makan malam, ke alun-alun, atau tempat-tempat lain. Aku keluar dari kamar. Bapak kos berada tepat di depan pintu kamarku.
            “Ada kiriman dari bocah yang namanya Andre,” kata bapak kos.
            “Iya, terima kasih Pak,” balasku.
            Lalu aku membuka bungkusan itu. Isinya sebuah sepatu sneakers dan sepucuk surat. Aku membukanya.
            Sekar, selamat ulang tahun!
            Semoga panjang umurmu, makin sehat, makin cantik, pokoknya lebih baik dari tahun sebelumnya.
            Maaf hari ini aku nggak bisa ketemu kamu. Bos memindahkanku ke luar Jawa. Aku tak bisa menolaknya. Jadi aku harus terbang ke luar Jawa pagi ini juga. Maaf kalau hal ini menghancurkan hari yang seharusnya menjadi hari yang spesial untukmu. Maaf aku tak bisa hadir dan memberi hadiah ulang tahun langsung padamu. Maafkan aku. Kuharap kau mau memaafkanku dan tetap melanjutkan hubungan kita walau harus berhubungan jarak jauh. Kuharap semua tetap berjalan lancar dan tak ada masalah dalam hubungan kita. Saat aku pulang nanti aku akan memberimu kado lagi.
            Tapi, kalau kamu marah dan tidak bisa menerima keadaanku saat ini juga tdak apa-apa. Aku tidak akan memaksamu berhubungan jarak jauh denganku.
                                    ~Andre, always love you Sekar~
            Aku cukup sedih dengan ini. Tapi aku tetap tidak bisa menyalahkan Andre. Hatiku berkata untuk tetap bersamanya walau harus berhubungan jarak jauh. Saat itu juga Gina keluar dari kamarnya.
            “Kenapa Kar?” tanya Gina.
            “Andre ditugasin keluar Jawa Gin,” jawabku.
            “Ohh.. tapi kamu tetep mau nunggu Mas Andre?”
            “Iya,” jawabku. “Jam berapa sekarang?”
            “10,” jawab Gina.
            “Oh! Aku harus lihat drama di TV!”
            “Haah.. ditinggal pacarnya pergi masih sempet aja liat drama,” ejek Gina.
            Aku masuk ke kamar dan menyalakan TV. Gina juga ikut bersamaku. Satu jam kami lihat drama di TV hingga selesai. Setelah drama, TV menampilkan Breaking News. “Sebuah pesawat tujuan Kalimantan tiba-tiba terbakar dan jatuh pukul 8 pagi tadi. Penyebab terbakarnya pesawat belum diketahui. Ada 10 orang korban selamat, 9 meninggal, dan 14 orang lainnya belum ditemukan. Berikut daftar korban meninggal, Heri Setyawan, Titik Noviasari, Mahendra Syahputra, Didiek Gunawan,...”
            “Mahendra.... Syahputra...” aku terkejut mendengar nama itu.
            “Itu kan.. nama Mas Andre...” kata Gina.
            “Nggak mungkin... nggak mungkin Andre meninggal,” air mataku mulai menetes.
            “Kar, Mas Andre...” Gina juga meneteskan air mata atas kepergian kakaknya.
            “Nggak mungkin... Andre udah janji... akan memberiku hadiah ulang tahun ketika dia kembali.. dia akan mengajakku beli nasi goreng di alun-alun lagi... dia akan pergi belanja denganku lagi... apakah semua itu akan terjadi lagi? Gin?” air mataku tak bisa berhenti mengalir.
            “Mungkin enggak,” jawab Gina. Air matanya juga terus keluar.
            Aku memeluk Gina. Aku dan Gina sama-sama merasakan kehilangan. Aku menangis tanpa henti hingga sore. Malam pun menjadi malam hening tanpa Andre. Aku berfikir bahwa aku akan merindukannya, merindukan kepolosannya, kebaikannya, kegokilannya, dan semua yang ada pada dirinya, akan selalu muncul dalam ingatanku. Aku tak bisa menghapusnya.
            Malam ini hujan lagi. Alam seakan mengerti perasaanku. Hujan deras hingga pagi, aku pun menangis semalaman. Hingga aku tertidur karena lelah menangis.
            2 bulan setelah kepergian Andre...
            “Kar, hari ini tepat 2 bulan Mas Andre meninggal,” kata Gina.
            “Iya, aku mau menengok ke makamnya,” balasku.
            “Aku ikut.”
            “Ya, aku juga akan mengajak ‘dia’.”
            “Pacar barumu?”
            “Iya.”
            “Biasanya kalau di novel-novel, cewek yang ditinggal mati pacarnya bunuh diri karena depresi dan ingin menyusul kekasihnya,” kata Gina.
            “Haha, itu pemikiran anak TK. Apakah itu yang diharapkannya ketika ia meninggalkanku? Tentu tidak, dia pasti ingin aku mencari teman baru, pendamping baru, agar aku tidak kesepian karena kehilangannya. Tapi itu tidak berarti aku melupakannya, sampai saat ini pun aku tidak bisa menghapuskan cintaku pada Andre,” kataku.
            Gina tersenyum padaku. Kami pun pergi ke makam Andre. Aku akan selalu mendoakannya dalam setiap doaku. Semoga kau bahagia selalu disana.
            Aku sudah punya pengganti Andre. Dia juga mengerti keadaanku, dia tidak melarangku untuk tetap memiliki perasaan terhadap Andre. Aku tetap mencintainya walau aku punya kekasih selain Andre. Aku terlanjur cinta mati kepada Andre.
            Ndre, kalau kita bertemu lagi lain waktu, kita pasti akan jatuh cinta. Tak peduli berapa kali kita bertemu, aku pasti akan jatuh cinta lagi padamu. Aku takkan berhenti mencintaimu. Cinta adalah... tekanan abadi.