Selasa, 19 Februari 2013

Sorry, I Can't



 Pagi yang cerah, tidak ada sedikit pun awan mendung di langit. Semesta menyapaku ramah. Aku menjalani hariku seperti biasanya. Berangkat sekolah dengan malas-malasan, berharap beberapa guru absen saat pelajaran. Aku sama seperti teman-temanku, membedakan antara sekolah dan rumah, jadi aku jarang mengerjakan PR di rumah, karena bagiku rumah adalah tempat untuk istirahat dan sekolah tempat untuk belajar dan berkumpul bersama teman-teman.
            Banyak guru yang bilang bahwa belajar itu tidak hanya di sekolah, di luar sekolah pun kita bisa belajar dari berbagai peristiwa dan kejadian di sekitarku. Jika di luar sekolah kita juga belajar, lantas mengapa kita sekolah? Sama-sama belajar kan?
            Namaku Ste, aku tidak begitu normal, tapi tidak dalam artian ‘gila’ aku hanya menjadi lebih unik dari teman-temanku, dan itulah yang membuatku spesial, karena aku berbeda.
            Para remaja normal biasanya saat liburan mereka berbelanja, jalan-jalan ke mall, dan kegiatan lainnya. Berbeda denganku, aku lebih suka main ke laut. Rumahku memang dekat dengan pantai. Kenapa pantai? Karena pantai adalah tempatku, imajinasiku, khayalanku, dan hidupku. Tempat ini sangat indah. Karena terpencil, tidak banyak wisatawan berkunjung, hal itu membuat pantai ini semakin sedap dipandang.
            Aku hampir tidak punya waktu di rumah, aku menghabiskan setengah hariku untuk sekolah yang membosankan dan sisanya kuhabiskan di pantai.
            Pagi ini aku berangkat ke sekolah tanpa semangat seperti biasa. Ketika aku membuka pintu ruang kelas, teman sekelasku menatapku.
            “Halo Princess,” sapa Tony, temanku.
            “Hah? Princess? Apaan tuh?” tanyaku bingung.
            “Ciee, pacarnya Reno udah dateng,” kata Fani.
            “Ha?!” aku makin bingung dengan teman-temanku. Apa ada gosip baru? Aku dengan Reno? Salah satu cowok paling terkenal di sekolah? Yang benar saja? Aku pun memasang wajah bertanya-tanya. “Siapa yang menyebarkan gosip itu?”
            “Selamat pagi,” sapa Reno dari belakangku.
            “Nah! Pas banget! Ada Princess, ada Prince,” kata Tony.
            “Hm?” Reno juga tampak bingung dengan situasinya saat ini.
            “Ste itu, pacar kamu kan,” balas Tony.
            “Nah Lo! Ketahuan!”
            “Stee... kok kamu bisa sama Reno sih..?”
            “Pajak jadian! Pajak jadian!”
            “Hayoo.. mana pajaknya? Biar langgeng.”
            Kelas menjadi ribut. “Eh, enggak kok, ng.. itu Cuma gosip.. aku nggak pacaran sama Reno kok.. gosip itu...” kataku terbata-bata.
            “Iya, kita emang pacaran kok, kalian mau pajak apa?” Reno menyela pembicaraanku.
            Kelas menjadi hening. Aku terkejut mendengar perkataan Reno, aku menengok kearah Reno dengan wajah terkejut. Reno menatap wajahku dan tersenyum.
            “Yeah! Reno traktiran! Ayo ke kantin!” seru Tony.
            “Ayo..!!” seluruh siswa di kelas pun keluar dan pergi ke kantin. Hanya tinggal aku dan Reno di kelas.
            “Masalah selesai!” ujar Reno.
            Aku menoleh kearah Reno. “Apa maksudmu?”
            “Maksud apa?” tanya Reno dengan wajah polos.
            “Apa maksudmu ‘masalah selesai’?” tanyaku.
            “Ah, tidak apa-apa kok,”
            “Kenapa kamu bilang kita pacaran?” tanyaku.
            “Karena nggak ada gunanya menyangkal perkataan mereka, mereka bakal terus jodoh-jodohin kita, jadi gue bilang aja kalau kita pacaran,” jawab Reno.
            “Jadi kita pura-pura pacaran?” tanyaku.
            “Yups!”
            Aku diam dan mengiyakan perkataan Reno. Dalam hatiku berkata “Sialan nih anak!”
            “Ayo ke kantin sebelum mereka menghabiskan seluruh isi kantin,” ajak Reno. “Oh ya, ngomong-ngomong lo bawa dompet nggak?”
            “Bawa, kenapa?”
            “Gue pinjem duit lo dulu ya, gue gak bawa duit nih,” kata Reno.
            “Duitku nggak banyak, nggak bakal cukup buat bayarin pajak,” balasku.
            “Ngutang dulu deh, Mbak penjaga kantin kan baik.”
            Aku masih belum bisa mempercayai hal ini. Cowok terpopuler di SMAN 48 pura-pura pacaran denganku. Sejak saat itu kami pulang bareng, istirahat bareng, sering keluar bareng dan itu cuma akting.
            Suatu saat temanku bertanya padaku.
            “Gue gak percaya, gimana bisa lo pacaran sama Reno?” tanya Sera.
            “Ng... nggak gimana-gimana,” jawabku.
            “Yang nembak siapa? Lo atau Reno?”
            “Reno.”
            Sera terkejut mendengar jawabanku. Siapapun pasti mengira aku yang menyukai Reno, bukan sebaliknya. Reno memang tampan, tapi aku hanya bisa mengaguminya saja, tidak pernah ada perasaan lebih.
            Saat pulang sekolah, aku pergi bersama Reno. Dia tiba-tiba mengajakku ke pusat kota. Aku tidak tahu apa tujuannya, aku hanya mengikutinya saja. Aku dan Reno pergi ke pusat kota dengan berjalan kaki. Banyak hal kami lakukan disana, Reno mengajakku ke toko buku. Dia membeli banyak buku tentang psikologi, saat aku bertanya ‘kenapa?’ Reno menjawab sambil tersenyum ke arahku ‘Karena aku ingin masuk jurusan psikologi saat kuliah nanti’ Reno masih kelas 1 SMA tapi dia sudah memikirkan apa yang akan dilakukannya di masa mendatang.
            Setelah ke toko buku, Reno mengajakku mampir ke cafe di pinggir jalan. Dia memintaku memesan sesuatu dan dia mengatakan akan membayar semuanya. Aku merasa tak enak pada Reno, akhirnya aku hanya memesan secangkir kopi hitam.
            “Kopi hitam? Lo mau lembur malam ini?” tanya Reno.
            “Lembur apa?” aku balik bertanya.
            “Ya... mungkin belajar, atau nonton film?” balas Reno.
            “Belajar? Sejak kapan kulakukan itu?”
            “Haha.. lo nggak pernah belajar ya? Pantes nilai lo rendah, haha...” Reno menertawakanku.
            Aku ikut tertawa, aku tahu dia hanya bercanda. Tapi memang benar nilaiku selalu buruk terutama pelajaran yang perlu banyak menghafal, aku lemah dihafalan.
            Selesai meminum secangkir kopi hitam, Reno mengajakku ke sebuah toko alat tulis. Dia ingin menemui teman lamanya, teman Reno adalah pemilik toko alat tulis tersebut. Namanya Lisa, dia wanita yang sangat cantik. Aku berfikir bahwa dia adalah pacar Reno.
            “Hai Lis,” sapa Reno.
            “Reno! Lama nggak ketemu kamu, apa kabar?” tanya Lisa.
            “Baik, kamu?”
            “Baik juga,” balas Reno. Mereka tampak sangat akrab.
            “Ada perlu apa?” tanya Lisa.
            “Cuma mau kasih tau kalo rumah aku pindah, aku kasih alamatnya. Nanti kalo kamu kirim barang biar nggak salah alamat,” jawab Reno.
            “Ohh, asik dong, rumah kamu sekarang deket sama laut,” kata Lisa.
            “Ya.. begitulah, pemandangannya disana indah,” balas Reno. “Udah ya, aku pulang dulu, keburu malem nih.”
            “Oh, ya, bye!”
            “Bye!”
            Aku dan Reno pun keluar dari toko alat tulis.
            “Tadi ngomongin apa sih?” tanyaku.
            “Gue disuruh bapak ngabarin kalo rumah gue pindah, biar Lisa nggak nyasar waktu kirim barang,” jawab Reno.
            “Kirim barang?”
            “Ya, tokonya Lisa jual alat tulis grosir dan terima jasa antar. Bapak sering pesen alat tulis buat kantornya,” jawab Reno.
            Aku diam dan mengikuti Reno pulang. Pusat kota cukup jauh dari rumah, jadi akan makan banyak waktu.
            Tiba-tiba hujan turun.
            “Ah! Gue lupa nggak bawa payung!” kata Reno dengan wajah polos. Rasanya aku ingin tertawa melihat wajah polos Reno.
            Hujan semakin deras. Reno memayungiku dengan jaketnya. Aku begitu dekat dengannya saat ini. Aroma tubuh Reno tercium seperti bau parfum pria. Jantungku berdegup kencang. Setelah semua yang terjadi sepertinya aku menyukai Reno. Aku diam memandangi wajah Reno yang basah kuyup. Langkahku pun melambat.
            “Hei! Lo kenapa?” tanya Reno.
            “Eh.. eng.. enggak kok,” jawabku.
            “Lama lo ah!” kata Reno lalu berjongkok di depanku dan menggendongku di punggungnya.
            “Tu... tunggu, Ren!”
            “Udah nggak apa-apa, biar cepet!”
            Reno berlari kencang sambil menggendongku. Reno memang seorang atlet lari, tidak heran jika larinya sangat kencang. Walaupun sudah berlari dan menutupi tubuh dengan jaket, kami tetap basah sampai di rumah. Walau basah sampai di rumah, hari ini menjadi hari yang menyenangkan bagiku, dan hari ini juga aku menyadari bahwa aku menyukai Reno.
            Cahaya matahari mendobrak jendelaku. Aku segera bangun dan bersiap pergi ke sekolah. Jika hari sebelumnya aku malas untuk berangkat, hari ini aku sangat bersemangat untuk sekolah. Aku mengunggu Reno dan Tony menghampiriku dan berangkat bersama.
            Sampai di sekolah, seperti biasa Reno menyapa teman sekelas. Sera memanggil Reno, Reno pun menghampiri kerumunan perempuan yang memanggilnya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Reno terlihat seperti cowok populer pada umumnya. Mereka biasanya playboy, aku tidak tahu dengan Reno, tapi dia terlihat seperti itu ketika dikerumuni perempuan. Aku agak cemburu.
            Saat pulang sekolah, aku mencari Reno. Dia berada di gerbang sekolah bersama seseorang. Itu Lisa, apa yang dia lakukan di sini? Lisa menggandeng tangan Reno dan Reno tampak malu-malu. Mereka tampak begitu mesra, hatiku sakit.
            Dari sekolah aku langsung ke pantai, aku yang tengah sakit hati ingin menikmati indahnya laut dan melupakan segala kegalauanku. Matahari terbenam begitu indah. Aku melihat bayangan dua orang di kejauhan. Itu Reno dan Lisa, mereka duduk bersama menikmati matahari terbenam sama sepertiku. Usahaku melupakan rasa sakitku pun gagal, aku justru merasa tambah sakit.
            Malamnya aku tidak bisa tidur. Aku tak bisa berhenti memikirkan Reno. Mungkin Reno dan Lisa memang pacaran. Tapi Reno bilang Lisa Cuma teman lama, wajahnya dapat dipercaya, tidak mungkin dia berbohong. Besok hari Minggu, aku mengambil ponselku dan mengirim pesan ke Reno. Aku mengajaknya bertemu di pantai besok.
            Esoknya aku bertemu dengan Reno. Dia menunggu di dekat mercusuar, aku pun menghampirinya.
            “Hai Ren,” sapaku.
            “Hai Ste, ada apa nih?” tanya Reno.
            “Aku mau ngomongin sesuatu,” kataku.
            “Apa itu?” tanya Reno.
            “A... aku... suka, sama, kamu.”
            Reno bingung mau menjawab apa. Ketika Reno hendak bicara aku menyelanya. “Kalau kamu nggak bisa juga nggak apa-apa kok.”
            “Maaf,” katanya.
            “Iya, nggak apa-apa kok Ren, kamu cocok sama Lisa kok,” kataku sambil tersenyum menahan tangis.
            “Bu... bukan gitu, aku nggak sama Lisa kok. Biar aku jelasin,” kata Reno. “Sebenernya, seumur hidupku aku belum pernah merasakan cinta.”
            “Eh?!” aku terkejut.
            “Iya, aku punya penyakit jantung koroner. Dokter bilang aku harus menjaganya dari hal-hal yang memacu adrenalin, aku tidak boleh kelelahan, jantungku juga tidak boleh berdegup terlalu cepat,” jelas Reno. “Temanku bilang, tanda seseorang yang sedang jatuh cinta itu jantung akan berdegup cepat setiap memikirkannya, melihatnya, mendengarnya, dan semua tentangnya. Aku selalu menjaga perasaan itu agar tidak tertarik dengan seseorang.”
            “Bagaimana dengan olahraga? Kau seorang atlet lari kan?” tanyaku.
            “Ya, pertandingan terakhirku membuatku hampir mati,” jawab Reno.
            “Ohh, begitu.”
            “Oh ya, apa aku boleh bertanya sesuatu?”
            “Apa itu?”
            “Bagaimana rasanya jatuh cinta? Banyak orang bahagia karenanya, sementara aku justru akan menderita karnanya,” tanya Reno.
            “Jatuh cinta itu, rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu berterbangan di dalam perutmu. Lalu, jika kau mengingatnya, memikirkannya, atau melihatnya kupu-kupu itu akan seperti terbang ke dadamu, rasanya seperti ada sesuatu yang memberatkan di hati,” jawabku.
            “Hanya itu? Kelihatannya tidak ada yang spesial,” balas Reno dengan wajah polosnya.
            “Itu karena kamu belum pernah merasakannya,” kataku lalu tertawa, Reno pun ikut tertawa.
            Kisahku dengan Reno berakhir dihari itu. Aku merasa lega telah mengungkapkan perasaanku padanya. Kita tetap berteman, bahkan Reno menjadi sahabat baikku. Dan dia tetap menjaga perasaannya agar tidak jatuh cinta. 

2 komentar:

  1. aku tidak begitu normal, tapi tidak dalam artian ‘gila’ aku hanya menjadi lebih unik dari teman-temanku, dan itulah yang membuatku spesial, karena aku berbeda.
    kalimat yang paling berkesan ^_^ nice story

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu deskripsi dari diri saya sebenarnya, terimakasih komentarnya...
      Jangan lupa beri makan ikannya ya...^^

      Hapus