Senin, 28 Januari 2013

Perubahan



“Teruslah berusaha tanpa henti, hingga Tuhan berkata: sudah waktunya pulang”
                Pagi yang sangat dingin, aku masih berbaring diatas ranjangku. Alarm pun berbunyi, aku dengan malasnya berdiri dan meninggalkan kamarku. Hawa dingin menusukku hingga ke tulang. Aku benar-benar malas hari ini. Malas bangun, malas mandi, malas sekolah, malas bekerja, dan segalanya. Aku memang benci mandi di pagi hari, dinginnya air membuatku tersiksa.
                Aku Edric, aku seorang mahasiswa psikologi di Universitas Airlangga. Sudah 6 tahun aku sekolah tapi tak kunjung lulus. Aku berasal dari keluarga kalangan atas. Ibuku seorang dosen, dan ayahku pengusaha sukses. Kenyamanan hidupku saat ini membuatku malas untuk bermimpi.
                Ya, hingga saat ini aku tak memiliki mimpi. Anak kecil biasanya bilang ingin jadi Power Ranger, Ultraman, Robocop, dan semacamnya, tetapi tidak denganku, tak ada yang ingin kucapai dalam hidupku. Apa yang kurang dariku? Kekayaan, kemewahan, orangtua yang baik, pacar cantik, barang-barang mahal, semua sudah kumiliki. Kecuali ‘Mimpi’.
                Rena, pacarku. Dia cantik, juga baik. Rena dulu teman kuliahku, hanya saja dia lulus lebih awal daripada aku. Sekarang dia bekerja di sebuah perusahaan swasta, gajinya juga cukup tinggi. Rena orang yang ambisius, apa yang dia inginkan pasti akan dia kejar sampai ia mendapatkannya. Berbanding terbalik dengan sifatku. Terkadang temanku menyuruhku untuk jadi seperti Rena, menjadi seorang pekerja keras. Tapi aku tidak mau dengan alasan: “Perbedaan sifat sepasang kekasih itu saling melengkapi”. Hanya alasan, yang ingin kukatakan sebenarnya adalah “malas”.
                Aku dan Rena pasangan yang cupuk serasi. Kami sama-sama berasal dari kalangan atas. Setiap akhir pekan aku selalu membelanjakannya banyak barang ber-merk yang mahal. Kami juga sering makan malam di restoran mewah.
                Hari ini ulang tahun Rena, aku mengajaknya makan malam di restoran China yang cukup terkenal dan mahal harganya. Rena seorang pecinta musik, jadi aku membelikannya sebuah miniatur gitar. Saat itu juga Rena berkata, ‘Dric, sudah 4 tahun kita pacaran, tapi kenapa hanya begini-begini saja?’
                ‘Ya, lalu kau ingin yang seperti apa? Akan aku kabulkan’ balasku.
                ‘Sebenarnya, apa hubungan kita ini memiliki tujuan?’ kata Rena.
                ‘Ng? Bicara apa kamu? Tujuan apa? Bukankah kita sudah mempunyai semua yang kita inginkan?’
                ‘Berhentilah bicara seperti anak TK yang suka memamerkan segala yang dia punya!’ Rena agak kesal dengan sikapku.
                ‘Kalau begitu, kapan kita menikah?’ tanyaku.
                ‘Eh?’
                ‘Menikah adalah tujuan dari sebuah hubungan kan?’
                ‘Aku meragukanmu.’
                ‘Kenapa? Umur kita sudah cukup kan? Kau 26 dan aku 28,’ tanyaku.
                ‘Bagaimana kau bisa membiayai hidupku? Kau kan pengangguran,’ kata Rena.
                ‘Hei, jangan mendoakan yang buruk,’
                ‘Edric! Kamu sudah dewasa! Kamu harus bekerja dan serius menjalani hidup!’ bentak Rena.
                ‘...’
                ‘Baiklah, kita akan menikah, tapi aku punya persyaratan,’ kata Rena.
                ‘Apa itu?’
                ‘Aku mau semua peralatan pernikahan, mulai dari undangan hingga perayaan kau bayar..’
                Rena belum selesai bicara tapi aku menyelanya, ‘Gampang, semua aku yang bayar, mana ada pernikahan mempelai wanitanya yang membiayai pernikahannya. Haha..’
                ‘Edric, aku belum selesai bicara, aku mau kamu bayari dengan hasil usahamu sendiri, bukan uang dari orangtuamu,’ lanjut Rena.
                ‘Hah?!’ aku kaget dengan kata-kata yang keluar dari mulut kekasihku ini. Bagaimana aku bisa menghasilkan banyak uang sementara aku ini seorang pengangguran?
                ‘Tapi Ren, pekerjaan apa yang harus aku lakukan untuk menghasilkan uang sebanyak itu? Kau tahu sendirikan, aku tidak punya kemampuan apapun, bahkan kuliahku 6 tahun belum juga lulus,’ kataku.
                ‘Kamu pernah dengar tentang Gua Plato?’ tanya Rena.
                Aku menggeleng.
                ‘Ada beberapa orang tinggal di sebuah gua, mereka merasa nyaman di dalam gua tersebut. Apa yang mereka inginkan sudah tersedia di dalam gua. Hingga ada satu orang mencoba keluar dari gua tersebut. Di luar dia melihat hewan-hewan, tumbuhan, gunung, air terjun, dan keindahan-keindahan lain yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Lalu ia kembali ke dalam gua dengan tujuan memberitahu teman-temannya. Tetapi, ketika ia menceritakan semua yang ia lihat di luar gua, tak seorangpun dari penghuni gua percaya padanya. Mereka menganggapnya pembohong lalu membunuhnya.’
                ‘Lalu?’ tanyaku.
                ‘Kamu seperti penghuni gua, hidupmu terlalu nyaman, kekayaan, kemewahan, dan sebangsanya. Lihatlah kamu sekarang, kamu nggak punya kemampuan apa-apa. Itu karena kamu nggak mau mencoba hal-hal baru dan mencari jati dirimu. Setiap manusia diciptakan memiliki bakat mereka sendiri-sendiri, kamu hanya perlu mencari apa bakatmu,’ jelas Rena.
                ‘Aku seperti penghuni gua? Tapi aku tidak membunuh siapapun,’
                ‘Guyonmu gak lucu,’ balas Rena. ‘Udah malem banget nih, aku pulang dulu ya, besok aku kerja. Semangat ya Beibz, aku tunggu lamaranmu,’ kata Rena lalu meninggalkanku.
                ‘Dah Ren, happy birthday,’ balasku.
                ‘Oh iya, satu lagi,’ Rena berbalik. ‘Kamu nggak boleh kerja di perusahaan ayahmu.’
                ‘Haa..? kenapa?’ tanyaku.
                ‘Keenakan donk, nanti mentang-mentang kamu anaknya bos kerjamu jadi malas-malasan dan makan gaji buta,’
                ‘Haaahh...’
                ‘Kalau kamu butuh bantuanku telpon aja, aku juga lulusan psikologi,’
                ‘hmh..’ balasku lalu beranjak dari tempat duduk dan bersiap pulang.
                ‘Kamu juga mau pulang?’ tanya Rena.
                ‘Ya iyalah, kalau kamu mau pulang aku jalan sama siapa? Ntar kalau aku jalan sama cewek lain kamunya yang cemburu,’ kataku.
                Rena tertawa kecil.
                ‘Aku anter pulang deh,’ tawarku pada Rena.
                ‘Ok! Yang terakhir sebelum kita berpisah.’
                ‘Berpisah?’
                ‘Kalau kamu cari kerja kita gak punya waktu ketemuan untuk sementara.’
                Aku tersenyum lalu membukakan pintu untuk Rena. Aku tidak tahu apa tujuan Rena menyuruhku bekerja. Sebenarnya aku bisa saja mencari wanita lain yang membiarkanku jadi pengangguran kaya. Tapi, aku terlanjur mencintai Rena. Yaa.. mau bagaimana lagi?
                Keesokan harinya, aku mulai kesana kemari mencari pekerjaan. Tapi semua tempat yang kudatangi menolakku hanya karena satu alasan: belum lulus. Aku telah mengunjungi banyak tempat-tempat besar. Mungkin aku akan diterima jika melamar pekerjaan di sebuah toko kecil. Tapi pesta pernikahan membutuhkan banyak biaya, aku harus bisa mengumpulkan banyak uang dalam waktu dekat. Oh Rena... apakah hanya ini satu-satunya jalanuntuk tetap bersamamu.
                Aku berhenti di depan sebuah super market. Aku berjalan masuk dan berharap akan diterima. Aku masuk dan bertemu dengan atasan. Dan aku DITERIMA! Sebagai cleaning service. Walaupun hanya jadi cleaning service bayarannya cukup besar, lebih besar dari penjaga toko kecil. Setelah menerimaku bos bilang, jika kerjaku bagus aku bisa jadi penjaga kasir. Penjaga kasir bayarannya memang lebih besar.
                Sebulan aku bekerja disana dan aku belum naik pangkat. Ternyata bekerja tak semudah menghembuskan nafas. Yang kubayangkan adalah setelah aku bekerja, hanya dengan berkedip saja tumpukan uang sudah ada di depanku. Ternyata tidak semudah itu.
                Beberapa hari yang lalu ada pegawai baru masuk. Baru 2 Minggu dia masuk, dia sudah dipromosikan. Dia memang orang yang berbakat. Aku merasa agak minder dan menelpon Rena.
                ‘Ren, di super market ada pegawai baru. Baru 2 Minggu dia kerja, dia sudah dipromosikan. Aku agak kepikiran nih,’ keluhku pada Rena.
                ‘Udah gak usah dipikirin, yang penting kerja aja yang rajin,’ balas Rena.
                ‘Aku sudah melakukan itu, tapi tetap saja kepikiran.’
                ‘Pamerin aja harta kekayaan kamu. Tunjukkan padanya kalau kamu nggak rendahan,’ kata Rena.
                ‘Nanti aku dikira sombong.’
                ‘Sombong lebih baik daripada minder.’
                ‘...’
                ‘Kenapa?’ tanya Rena.
                ‘Enggak kok,’ balasku.
                ‘Kamu tau gak? Batu kalau ditetesi air, lama kelamaan akan berlubang.’
                ‘Lalu?’
                ‘Itu membuktikan bahwa yang berhasil bukanlah yang tajam, tapi yang bersungguh-sungguh,’ jawab Rena. ‘Kalau orang Arab bilang Man jadda, wa jadda.’
                ‘Siapa yang bersungguh-sungguh, dialah yang mendapatkan,’ balasku.
                ‘Nah! Tau kan? Udah, kerja lagi sana!’
                Nasehat dari Rena benar-benar membantuku. Dia mengatakannya dengan lancar seakan tahu apa yang ada dipikiranku. Berkat Rena aku semakin giat bekerja. Aku terus menunjukkan kalau aku seorang pekerja keras.
                3 bulan, akhirnya bos mempromosikanku. Sekarang aku seorang penjaga kasir, penghasianku semakin meningkat. Aku juga mengerjakan kembali skripsiku. Aku minta bantuan dosen untuk membantuku mengerjakan skripsi. Aku ingin segera lulus agar aku dapat ijazah. Aku memulainya bulan lalu dan selesai 2 bulan setelahnya. AKU LULUS!
                6 bulan aku bekerja, bos lagi-lagi mempromosikanku. Kali ini aku naik pangkat menjadi manager. Semua berkat kerja kerasku dan juga ijazahku. Benar kata Rena, yang berhasil bukanlah yang tajam, tapi yang bersungguh-sungguh.
                Empat bulan setelah itu. Hari ini adalah 5 tahun kami pacaran. Aku mengajak Rena makan malam di restoran yang sama seperti saat Rena ulang tahun. Aku pun memulai pembicaraan.
                ‘Ren,’ kataku.
                ‘Apa?’ tanya Rena.
                ‘Enaknya hari ini aku jadi melamarmu atau tidak ya?’
                ‘Eh?’
                ‘Mari kita tentukan dengan batu-gunting-kertas, jika aku kalah aku akan melamarmu, jika aku menang aku tidak jadi melamarmu,’ ajakku.
                ‘Jadi kau menganggap semua ini hanya permainan?’
                ‘Sudahlah, lakukan saja,’
                Rena diam,dia terlihat kesal. Aku mulai menghitung 1 sampai 3. Aku menjatuhkan tanganku pada hitungan ke-2 dan aku membuka tanganku (kertas). Pada akhirnya tetap Rena yang harus memilih.
                Rena menjatuhkan tangannya yang mengepal. Batu?! Apakah aku ditolak?! Beberapa detik kemudian dia membuka jari telunjuk dan jari tengahnya. GUNTING! Yeah! Aku diterima!
                ‘Dasar!’ kata Rena.
                Aku berlutut dan mengulurkan tanganku, diatasnya ada kotak kecil berisi cincin emas. Rena mengambilnya dan tersenyum kepadaku. Aku pun memeluk calon istriku. Dan ketika kulepaskan, perhatian seluruh pengunjung restoran tertuju pada kami.
                ‘Apa kamu malu?’ tanyaku pada Rena.
                ‘Tidak, aku tidak pernah merasa malu bersanding denganmu,’ jawab Rena. Aku merasa sangat senang.
                ‘Selamat ya,’ kata seorang pengunjung.
                ‘Wah, selamat ya,’
                ‘Selamat-selamat. Belum pernah aku lihat orang melamar dengan cara seperti ini,’ pengunjung lain ikut memberi selamat.
                Restoran pun jadi gaduh gara-gara kami berdua. Walau begitu aku merasa senang bisa memberikan apa yang Rena inginkan.
                Malam semakin larut, aku mengajak Rena pulang.
                ‘Mau kuantar?’ tawarku pada Rena.
                ‘Ok! Yang pertama sejak perubahan di hidupmu,’ Rena menerima tawaranku.
                Kini aku tahu bahwa tujuan Rena adalah untuk memberikan perubahan dalam hidupku. Aku jadi sadar seberapa perhatian Rena padaku. Sejak aku menikahi Rena hari-hari terasa berubah. Dunia terasa semakin indah untuk dijelajahi.
                Tidak lama setelah aku menikah, aku keluar dari pekerjaan dan membuka usaha sendiri. Kini hidupku memiliki tujuan yaitu membahagiakan keluargaku dan membanggakan keluargaku. Aku akan terus berusaha dan bekerja hingga Tuhan berkata “Sudah waktunya pulang”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar