Senin, 21 Januari 2013

Diary Hilman



SMAN 1, disanalah aku sekarang. Berjuang melawan ratusan siswa untuk jadi yang terbaik. Aku bukanlah siswa jenius yang bisa melakukan semua pekerjaan dengan mudahnya. Tak seperti sihir, yang dapat menjadikan segalanya secara instant. Hidupku disini penuh dengan perjuangan.      
            Hilman itu namaku, kujalani hidup dengan sangat terpaksa. Sekejap terasa kehidupan begitu membosankan. Tak ada hal luar biasa dalam hidupku. Aku hanyalah manusia yang hidup dan mati dengan biasa-biasa saja. Nilai ujianku buruk, aku juga tak memiliki banyak teman, aku pun tak memiliki bakat yang berarti. Hanya diary ini yang menemaniku.
            Belajar, belajar, belajar, dan belajar. Membosankan bukan? Sekalipun aku belajar keras aku tak bisa mendapat nilai yang baik. Penerimaan rapor tengah semester 1, kali ini pun aku mendapat peringkat 36 dari 37 siswa. Betapa bodohnya aku, bahkan temanku yang hampir sebulan tidak masuk karena sakit pun berada diatasku. Tapi aku tak begitu peduli, yang aku inginkan hanya segera lulus, setelah lulus aku akan menghadapi kehidupan sebenarnya, itu terasa begitu menakutkan, tapi aku harus menjalaninya terlebih dahulu sebelum mati. Ohh, aku ingin segera mengakhiri kehidupan ini.
            Semua itu berlangsung hingga aku bertemu dengan seseorang. Dia Top, dia bukan siswa hebat, dia tidak juga pintar, bahkan aku yang bodoh ini lebih pintar darinya. Hanya saja dia dapat membuat orang lain menjadi semakin bersemangat dalam menjalani hari. Dalam sekejap dia menjadi teman baikku.
            Dia telah banyak merubahku. Aku memang masih tidak pernah belajar di rumah, tapi aku selalu mendengarkan penjelasan guru. Itu juga berkat dia, dia pernah bilang padaku :
‘Kau orang yang cerdas! Kau bahkan tak perlu belajar semalam suntuk untuk dapat mengerjakan soal ujian, hanya dengan mendengarkan saja kau bisa memahami semua yang dikatakan pak guru,’ begitu kata Top.
            Top memberikanku kepercayaan diri. Sejak itu prestasiku meningkat, walau tak menjadi yang pertama aku cukup puas dengan hasil kerjaku. Top juga terus belajar, tapi dia tetap tak bisa melampauiku, meski begitu dia tak menyimpan dendam. Dia juga pernah bilang bahwa dia tak memiliki kamus dengan kosakata yang lengkap. Top kekurangan satu kata dalam kamusnya, dan dia tak pernah berharap untuk mendapatkan kata itu. Kata itu adalah “Menyerah
            ‘Jangan pernah mengatakan kata itu di depanku, itu kata yang tabu bagiku!’ begitu kata Top.
            Mendekati ujian akhir semester. Aku masih santai dengan film dan gameku. Sementara Top belajar keras, ia ingin masuk 3 besar semester ini, mungkinkah jika dari 23? Aku tak tahu, tapi dia sangat yakin jika itu mungkin.
            ‘Jika bersama Tuhan, laut tanpa garam pun bisa jadi mungkin,’ kata Top.
            ‘Bagaimana jika itu hanya sekedar keberuntungan?’ tanyaku.
            ‘Keberuntungan bisa terjadi karena Tuhan yang menjadikannya,’ balas Top.
            Top sangat mengandalkan Tuhan. Tapi tidak berarti dia santai dan bermalas-malasan. Top tetap belajar dengan giat.
            Ujian pun semakin dekat. Ini 2 hari sebelum ujian berlagsung. Seluruh siswa diliburkan sebelum menghadapi ulangan. Tujuannya adalah agar siswa tidak tegang dan kelelahan sebelum ujian.
            Selama 2 hari libur aku datang ke rumah Top untuk belajar bersamanya. Disana aku dapat melihat betapa seriusnya Top dalam persiapan menghadapi ujian. Ketika kutanyakan padanya.
            ‘Ujian semester satu itu yang paling menentukan, karena nilai yang diperoleh masih murni,’ begitu kata Top.
            Aku bisa mengerti siswa rajin seperti dia.
            Saat ujian pun tiba, Top mengerjakan soalnya dengan serius. Sedangkan aku? Aku biasa-biasa saja. Top melirik kearahku dan tersenyum. Kupikir dia akan menyontek, ya, mencontek sudah menjadi hal yang biasa dikalangan siswa. Tapi tidak dengan Top, dia mengerjakan soalnya dengan jujur. Dia melirik kearahku untuk memberikan semangat. Yah, aku memang malas mengerjakan soal, semua orang pun akan tahu hal itu ketika melihat wajah malasku.
            Seminggu telah berlalu. Aku melihat papan pengumuman nilai. Aku mulai mencari namaku disekitar angka 11 sampai 20an. Aku tidak menemukannya,aku pun pindah ke atas. Dan sangat mengejutkan, aku nomor 1! Tak kusangka, aku peringkat 1 dengan nilai sempurna.
            ‘Hei! Seingatku dulu kau ranking 36, bagaimana bisa kau jadi ranking 1? Bagaimana bisa nilaimu tanpa celah sama sekali hah?!’ tanya Boi, teman sekelasku.
            Ketika kulihat lagi papan pengumuman nama Top tepat berada di bawahku. Aku pun segera mencari Top untuk mengucapkan selamat. Aku pergi ke kelas dan aku menemukannya.
            ‘Hai Top! Selamat, kau akhirnya masuk 3 besar!’ kataku.
            Tapi wajah Top terlihat tidak senang. Apa karena aku berada di atasnya?
            ‘Kau!’ Top terlihat marah padaku. ‘Bagaimana bisa kau mengkhianatiku?!’
            ‘Eh?’ aku memasang wajah bingung. Tidak! Aku memang sedang bingung dengan sikap Top.
            ‘Kau mencontek kan?!’ bentak Top.
            ‘...’
            ‘Itu bukan hasil kerjamu bukan?! Lantas apa gunanya selama ini kita belajar bersama? Apa gunanya kau jauh-jauh datang ke rumahku jika akhirnya akan begini?!’ lanjut Top.
            ‘I.. itu, aku...’ aku merasa susah berbicara.
            ‘Kau tahu kan jika mencontek itu curang?! Kau tahu kan, kalau itu perbuatan buruk?!’ Top semakin marah karena aku memasang wajah bodohi. Kelihatannya dia merasa dibodohi olehku.
            ‘...’ aku diam.
            ‘Huh! Bahkan gambar pada cermin yang berdiri di depanmu pun tahu kalau itu salah!’ Top mengatakannya lalu meninggalkanku.
            Gambar pada cermin yang tepat berada di depanku??? Gambar apa yang terlihat jika aku menaruh cermin di depanku??? ITU AKU!!! Ya, aku memang seharusnya tahu kalau mencontek itu buruk. Tapi mengapa aku melakukannya? Betapa bodohnya aku, melakukan sesuatu yang aku sendiri tahu kalau itu tak boleh dilakukan. Dan aku bahkan tak mempunyai kekuatan untuk mengakui perbuatanku di depan teman baikku sendiri. Betapa lemahnya aku?!
           Akhir-akhir ini aku menjauhi Top. Aku benar-benar malu padanya. Aku memang menang darinya. Ya tentu saja, aku ranking 1 sementara dia ranking 2. Tapi soal kepercayaan diri aku jelas kalah, aku tak percaya pada diriku sehingga aku melirik jawaban temanku. Aku merasa begitu licik, dan aku tahu bahwa Top terlalu baik untuk orang licik sepertiku.
            Selama satu semester aku menghindar dari Top. Aku mulai tak nyaman dengan kondisi ini. Aku pun memutuskan untuk memperbaiki hubungan dan mendapatkan kembali kepercayaan Top padaku. Tapi kurasa tidak mungkin mengembalikan kepercayaan seseorang hanya dengan berbicara dengannya. Aku perlu memberikan BUKTI yang nyata. Aku harus membuktikan pada Top bahwa aku juga bisa mendapat nilai bagus tanpa melirik jawaban temanku. Tekadku sudah bulat untuk tidak mencontek.
            Ujian kenaikan kelas pun tiba. Aku terus belajar dengan giat sepanjang malam. Aku merasa tidak nyaman dengan kesunyian saat aku belajar. Aku pun memasang headphone di telingaku. Memutar lagu-lagu rock yang sekiranya dapat membuatku semakin bersemangat.
            Saat ujian berlangsung aku dapat menjawab seluruh pertanyaan dengan mudah. Bahkan aku bisa memastikan nilaiku akan sempurna tanpa celah. Tapi apapun itu hasilnya aku akan merasa puas karena itu hasil kerjaku sendiri.
            Aku dengan sabar menunggu hasil ujian. Hari demi hari kulalui dengan senyuman. Aku membayangkan persahabatanku dengan Top kembali seperti dulu. Satu yang paling aku ingat adalah ketika aku mengajaknya nonton bola sampai larut malam, ia sangat gelisah dan selalu memandangi jam. Top orangnya agak ‘purba’, dia sangat disiplin dan taat peraturan, dan dia membuat peraturan untuk tidur sebelum jam 10 malam. Benar-benar berbeda dari siswa jaman sekarang.
            Hasil ujian pun telah keluar. Top diperingkat 1! Dan aku.... lama aku mencari. Lalu Boi menepuk pundakku dari belakang lalu ia berkata.
            ‘Hebat kamu! Nilaimu lagi-lagi sempurna tanpa celah! Bagaimana bisa?’ puji Boi.
            Hah?! Sempurna? Tanpa celah? Bagaimana bisa? Bukankah Top yang diperingkat 1? Seseorang menepuk bahuku dari belakang. Itu Top!!
            ‘Selamat, kali ini kau benar-benar nomor satu,’ kata Top sambil tersenyum.
            ‘Hah?’ aku masih bingung, lalu aku membalikkan badan dan melihat papan pengumuman sekali lagi. Aku menyipitkan mataku.
            WHOA..??!! Aku nomor 1??!! Sepertinya papan pengumuman terlalu tinggi sehingga aku hanya bisa melihat nomor 2 kebawah. Dan tanpa kusadari namaku ada di urutan paling atas.
            Aku merasa sangat senang karena bisa berada di urutan teratas tanpa mencontek. Dan aku lebih bahagia lagi karena Top sudah kembali tersenyum kepadaku.
            ‘Baguslah jika kau sudah mengerti bahwa yang benar tidak selalu baik,’ kata Top.
            Kini aku sudah merasakan bagaimana rasanya kehilangan kepercayaan dari seorang teman. Sangat tidak nyaman. Dan untungnya aku memiliki kamus yang sama tidak lengkapnya dengan milik Top. Sehingga aku tak pernah menyerah untuk mendapatkan apa yang aku inginkan.
            Aku kembali berjalan pulang bersama Top. Aku melihat kearah langit biru, aku tahu Tuhan berada disana. Terima kasih Tuhan, telah memberiku kesempatan sekali lagi untuk mendapat kepercayaan dari seorang teman. Fin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar