Senin, 28 Januari 2013

Perubahan



“Teruslah berusaha tanpa henti, hingga Tuhan berkata: sudah waktunya pulang”
                Pagi yang sangat dingin, aku masih berbaring diatas ranjangku. Alarm pun berbunyi, aku dengan malasnya berdiri dan meninggalkan kamarku. Hawa dingin menusukku hingga ke tulang. Aku benar-benar malas hari ini. Malas bangun, malas mandi, malas sekolah, malas bekerja, dan segalanya. Aku memang benci mandi di pagi hari, dinginnya air membuatku tersiksa.
                Aku Edric, aku seorang mahasiswa psikologi di Universitas Airlangga. Sudah 6 tahun aku sekolah tapi tak kunjung lulus. Aku berasal dari keluarga kalangan atas. Ibuku seorang dosen, dan ayahku pengusaha sukses. Kenyamanan hidupku saat ini membuatku malas untuk bermimpi.
                Ya, hingga saat ini aku tak memiliki mimpi. Anak kecil biasanya bilang ingin jadi Power Ranger, Ultraman, Robocop, dan semacamnya, tetapi tidak denganku, tak ada yang ingin kucapai dalam hidupku. Apa yang kurang dariku? Kekayaan, kemewahan, orangtua yang baik, pacar cantik, barang-barang mahal, semua sudah kumiliki. Kecuali ‘Mimpi’.
                Rena, pacarku. Dia cantik, juga baik. Rena dulu teman kuliahku, hanya saja dia lulus lebih awal daripada aku. Sekarang dia bekerja di sebuah perusahaan swasta, gajinya juga cukup tinggi. Rena orang yang ambisius, apa yang dia inginkan pasti akan dia kejar sampai ia mendapatkannya. Berbanding terbalik dengan sifatku. Terkadang temanku menyuruhku untuk jadi seperti Rena, menjadi seorang pekerja keras. Tapi aku tidak mau dengan alasan: “Perbedaan sifat sepasang kekasih itu saling melengkapi”. Hanya alasan, yang ingin kukatakan sebenarnya adalah “malas”.
                Aku dan Rena pasangan yang cupuk serasi. Kami sama-sama berasal dari kalangan atas. Setiap akhir pekan aku selalu membelanjakannya banyak barang ber-merk yang mahal. Kami juga sering makan malam di restoran mewah.
                Hari ini ulang tahun Rena, aku mengajaknya makan malam di restoran China yang cukup terkenal dan mahal harganya. Rena seorang pecinta musik, jadi aku membelikannya sebuah miniatur gitar. Saat itu juga Rena berkata, ‘Dric, sudah 4 tahun kita pacaran, tapi kenapa hanya begini-begini saja?’
                ‘Ya, lalu kau ingin yang seperti apa? Akan aku kabulkan’ balasku.
                ‘Sebenarnya, apa hubungan kita ini memiliki tujuan?’ kata Rena.
                ‘Ng? Bicara apa kamu? Tujuan apa? Bukankah kita sudah mempunyai semua yang kita inginkan?’
                ‘Berhentilah bicara seperti anak TK yang suka memamerkan segala yang dia punya!’ Rena agak kesal dengan sikapku.
                ‘Kalau begitu, kapan kita menikah?’ tanyaku.
                ‘Eh?’
                ‘Menikah adalah tujuan dari sebuah hubungan kan?’
                ‘Aku meragukanmu.’
                ‘Kenapa? Umur kita sudah cukup kan? Kau 26 dan aku 28,’ tanyaku.
                ‘Bagaimana kau bisa membiayai hidupku? Kau kan pengangguran,’ kata Rena.
                ‘Hei, jangan mendoakan yang buruk,’
                ‘Edric! Kamu sudah dewasa! Kamu harus bekerja dan serius menjalani hidup!’ bentak Rena.
                ‘...’
                ‘Baiklah, kita akan menikah, tapi aku punya persyaratan,’ kata Rena.
                ‘Apa itu?’
                ‘Aku mau semua peralatan pernikahan, mulai dari undangan hingga perayaan kau bayar..’
                Rena belum selesai bicara tapi aku menyelanya, ‘Gampang, semua aku yang bayar, mana ada pernikahan mempelai wanitanya yang membiayai pernikahannya. Haha..’
                ‘Edric, aku belum selesai bicara, aku mau kamu bayari dengan hasil usahamu sendiri, bukan uang dari orangtuamu,’ lanjut Rena.
                ‘Hah?!’ aku kaget dengan kata-kata yang keluar dari mulut kekasihku ini. Bagaimana aku bisa menghasilkan banyak uang sementara aku ini seorang pengangguran?
                ‘Tapi Ren, pekerjaan apa yang harus aku lakukan untuk menghasilkan uang sebanyak itu? Kau tahu sendirikan, aku tidak punya kemampuan apapun, bahkan kuliahku 6 tahun belum juga lulus,’ kataku.
                ‘Kamu pernah dengar tentang Gua Plato?’ tanya Rena.
                Aku menggeleng.
                ‘Ada beberapa orang tinggal di sebuah gua, mereka merasa nyaman di dalam gua tersebut. Apa yang mereka inginkan sudah tersedia di dalam gua. Hingga ada satu orang mencoba keluar dari gua tersebut. Di luar dia melihat hewan-hewan, tumbuhan, gunung, air terjun, dan keindahan-keindahan lain yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Lalu ia kembali ke dalam gua dengan tujuan memberitahu teman-temannya. Tetapi, ketika ia menceritakan semua yang ia lihat di luar gua, tak seorangpun dari penghuni gua percaya padanya. Mereka menganggapnya pembohong lalu membunuhnya.’
                ‘Lalu?’ tanyaku.
                ‘Kamu seperti penghuni gua, hidupmu terlalu nyaman, kekayaan, kemewahan, dan sebangsanya. Lihatlah kamu sekarang, kamu nggak punya kemampuan apa-apa. Itu karena kamu nggak mau mencoba hal-hal baru dan mencari jati dirimu. Setiap manusia diciptakan memiliki bakat mereka sendiri-sendiri, kamu hanya perlu mencari apa bakatmu,’ jelas Rena.
                ‘Aku seperti penghuni gua? Tapi aku tidak membunuh siapapun,’
                ‘Guyonmu gak lucu,’ balas Rena. ‘Udah malem banget nih, aku pulang dulu ya, besok aku kerja. Semangat ya Beibz, aku tunggu lamaranmu,’ kata Rena lalu meninggalkanku.
                ‘Dah Ren, happy birthday,’ balasku.
                ‘Oh iya, satu lagi,’ Rena berbalik. ‘Kamu nggak boleh kerja di perusahaan ayahmu.’
                ‘Haa..? kenapa?’ tanyaku.
                ‘Keenakan donk, nanti mentang-mentang kamu anaknya bos kerjamu jadi malas-malasan dan makan gaji buta,’
                ‘Haaahh...’
                ‘Kalau kamu butuh bantuanku telpon aja, aku juga lulusan psikologi,’
                ‘hmh..’ balasku lalu beranjak dari tempat duduk dan bersiap pulang.
                ‘Kamu juga mau pulang?’ tanya Rena.
                ‘Ya iyalah, kalau kamu mau pulang aku jalan sama siapa? Ntar kalau aku jalan sama cewek lain kamunya yang cemburu,’ kataku.
                Rena tertawa kecil.
                ‘Aku anter pulang deh,’ tawarku pada Rena.
                ‘Ok! Yang terakhir sebelum kita berpisah.’
                ‘Berpisah?’
                ‘Kalau kamu cari kerja kita gak punya waktu ketemuan untuk sementara.’
                Aku tersenyum lalu membukakan pintu untuk Rena. Aku tidak tahu apa tujuan Rena menyuruhku bekerja. Sebenarnya aku bisa saja mencari wanita lain yang membiarkanku jadi pengangguran kaya. Tapi, aku terlanjur mencintai Rena. Yaa.. mau bagaimana lagi?
                Keesokan harinya, aku mulai kesana kemari mencari pekerjaan. Tapi semua tempat yang kudatangi menolakku hanya karena satu alasan: belum lulus. Aku telah mengunjungi banyak tempat-tempat besar. Mungkin aku akan diterima jika melamar pekerjaan di sebuah toko kecil. Tapi pesta pernikahan membutuhkan banyak biaya, aku harus bisa mengumpulkan banyak uang dalam waktu dekat. Oh Rena... apakah hanya ini satu-satunya jalanuntuk tetap bersamamu.
                Aku berhenti di depan sebuah super market. Aku berjalan masuk dan berharap akan diterima. Aku masuk dan bertemu dengan atasan. Dan aku DITERIMA! Sebagai cleaning service. Walaupun hanya jadi cleaning service bayarannya cukup besar, lebih besar dari penjaga toko kecil. Setelah menerimaku bos bilang, jika kerjaku bagus aku bisa jadi penjaga kasir. Penjaga kasir bayarannya memang lebih besar.
                Sebulan aku bekerja disana dan aku belum naik pangkat. Ternyata bekerja tak semudah menghembuskan nafas. Yang kubayangkan adalah setelah aku bekerja, hanya dengan berkedip saja tumpukan uang sudah ada di depanku. Ternyata tidak semudah itu.
                Beberapa hari yang lalu ada pegawai baru masuk. Baru 2 Minggu dia masuk, dia sudah dipromosikan. Dia memang orang yang berbakat. Aku merasa agak minder dan menelpon Rena.
                ‘Ren, di super market ada pegawai baru. Baru 2 Minggu dia kerja, dia sudah dipromosikan. Aku agak kepikiran nih,’ keluhku pada Rena.
                ‘Udah gak usah dipikirin, yang penting kerja aja yang rajin,’ balas Rena.
                ‘Aku sudah melakukan itu, tapi tetap saja kepikiran.’
                ‘Pamerin aja harta kekayaan kamu. Tunjukkan padanya kalau kamu nggak rendahan,’ kata Rena.
                ‘Nanti aku dikira sombong.’
                ‘Sombong lebih baik daripada minder.’
                ‘...’
                ‘Kenapa?’ tanya Rena.
                ‘Enggak kok,’ balasku.
                ‘Kamu tau gak? Batu kalau ditetesi air, lama kelamaan akan berlubang.’
                ‘Lalu?’
                ‘Itu membuktikan bahwa yang berhasil bukanlah yang tajam, tapi yang bersungguh-sungguh,’ jawab Rena. ‘Kalau orang Arab bilang Man jadda, wa jadda.’
                ‘Siapa yang bersungguh-sungguh, dialah yang mendapatkan,’ balasku.
                ‘Nah! Tau kan? Udah, kerja lagi sana!’
                Nasehat dari Rena benar-benar membantuku. Dia mengatakannya dengan lancar seakan tahu apa yang ada dipikiranku. Berkat Rena aku semakin giat bekerja. Aku terus menunjukkan kalau aku seorang pekerja keras.
                3 bulan, akhirnya bos mempromosikanku. Sekarang aku seorang penjaga kasir, penghasianku semakin meningkat. Aku juga mengerjakan kembali skripsiku. Aku minta bantuan dosen untuk membantuku mengerjakan skripsi. Aku ingin segera lulus agar aku dapat ijazah. Aku memulainya bulan lalu dan selesai 2 bulan setelahnya. AKU LULUS!
                6 bulan aku bekerja, bos lagi-lagi mempromosikanku. Kali ini aku naik pangkat menjadi manager. Semua berkat kerja kerasku dan juga ijazahku. Benar kata Rena, yang berhasil bukanlah yang tajam, tapi yang bersungguh-sungguh.
                Empat bulan setelah itu. Hari ini adalah 5 tahun kami pacaran. Aku mengajak Rena makan malam di restoran yang sama seperti saat Rena ulang tahun. Aku pun memulai pembicaraan.
                ‘Ren,’ kataku.
                ‘Apa?’ tanya Rena.
                ‘Enaknya hari ini aku jadi melamarmu atau tidak ya?’
                ‘Eh?’
                ‘Mari kita tentukan dengan batu-gunting-kertas, jika aku kalah aku akan melamarmu, jika aku menang aku tidak jadi melamarmu,’ ajakku.
                ‘Jadi kau menganggap semua ini hanya permainan?’
                ‘Sudahlah, lakukan saja,’
                Rena diam,dia terlihat kesal. Aku mulai menghitung 1 sampai 3. Aku menjatuhkan tanganku pada hitungan ke-2 dan aku membuka tanganku (kertas). Pada akhirnya tetap Rena yang harus memilih.
                Rena menjatuhkan tangannya yang mengepal. Batu?! Apakah aku ditolak?! Beberapa detik kemudian dia membuka jari telunjuk dan jari tengahnya. GUNTING! Yeah! Aku diterima!
                ‘Dasar!’ kata Rena.
                Aku berlutut dan mengulurkan tanganku, diatasnya ada kotak kecil berisi cincin emas. Rena mengambilnya dan tersenyum kepadaku. Aku pun memeluk calon istriku. Dan ketika kulepaskan, perhatian seluruh pengunjung restoran tertuju pada kami.
                ‘Apa kamu malu?’ tanyaku pada Rena.
                ‘Tidak, aku tidak pernah merasa malu bersanding denganmu,’ jawab Rena. Aku merasa sangat senang.
                ‘Selamat ya,’ kata seorang pengunjung.
                ‘Wah, selamat ya,’
                ‘Selamat-selamat. Belum pernah aku lihat orang melamar dengan cara seperti ini,’ pengunjung lain ikut memberi selamat.
                Restoran pun jadi gaduh gara-gara kami berdua. Walau begitu aku merasa senang bisa memberikan apa yang Rena inginkan.
                Malam semakin larut, aku mengajak Rena pulang.
                ‘Mau kuantar?’ tawarku pada Rena.
                ‘Ok! Yang pertama sejak perubahan di hidupmu,’ Rena menerima tawaranku.
                Kini aku tahu bahwa tujuan Rena adalah untuk memberikan perubahan dalam hidupku. Aku jadi sadar seberapa perhatian Rena padaku. Sejak aku menikahi Rena hari-hari terasa berubah. Dunia terasa semakin indah untuk dijelajahi.
                Tidak lama setelah aku menikah, aku keluar dari pekerjaan dan membuka usaha sendiri. Kini hidupku memiliki tujuan yaitu membahagiakan keluargaku dan membanggakan keluargaku. Aku akan terus berusaha dan bekerja hingga Tuhan berkata “Sudah waktunya pulang”.

Senin, 21 Januari 2013

Diary Hilman



SMAN 1, disanalah aku sekarang. Berjuang melawan ratusan siswa untuk jadi yang terbaik. Aku bukanlah siswa jenius yang bisa melakukan semua pekerjaan dengan mudahnya. Tak seperti sihir, yang dapat menjadikan segalanya secara instant. Hidupku disini penuh dengan perjuangan.      
            Hilman itu namaku, kujalani hidup dengan sangat terpaksa. Sekejap terasa kehidupan begitu membosankan. Tak ada hal luar biasa dalam hidupku. Aku hanyalah manusia yang hidup dan mati dengan biasa-biasa saja. Nilai ujianku buruk, aku juga tak memiliki banyak teman, aku pun tak memiliki bakat yang berarti. Hanya diary ini yang menemaniku.
            Belajar, belajar, belajar, dan belajar. Membosankan bukan? Sekalipun aku belajar keras aku tak bisa mendapat nilai yang baik. Penerimaan rapor tengah semester 1, kali ini pun aku mendapat peringkat 36 dari 37 siswa. Betapa bodohnya aku, bahkan temanku yang hampir sebulan tidak masuk karena sakit pun berada diatasku. Tapi aku tak begitu peduli, yang aku inginkan hanya segera lulus, setelah lulus aku akan menghadapi kehidupan sebenarnya, itu terasa begitu menakutkan, tapi aku harus menjalaninya terlebih dahulu sebelum mati. Ohh, aku ingin segera mengakhiri kehidupan ini.
            Semua itu berlangsung hingga aku bertemu dengan seseorang. Dia Top, dia bukan siswa hebat, dia tidak juga pintar, bahkan aku yang bodoh ini lebih pintar darinya. Hanya saja dia dapat membuat orang lain menjadi semakin bersemangat dalam menjalani hari. Dalam sekejap dia menjadi teman baikku.
            Dia telah banyak merubahku. Aku memang masih tidak pernah belajar di rumah, tapi aku selalu mendengarkan penjelasan guru. Itu juga berkat dia, dia pernah bilang padaku :
‘Kau orang yang cerdas! Kau bahkan tak perlu belajar semalam suntuk untuk dapat mengerjakan soal ujian, hanya dengan mendengarkan saja kau bisa memahami semua yang dikatakan pak guru,’ begitu kata Top.
            Top memberikanku kepercayaan diri. Sejak itu prestasiku meningkat, walau tak menjadi yang pertama aku cukup puas dengan hasil kerjaku. Top juga terus belajar, tapi dia tetap tak bisa melampauiku, meski begitu dia tak menyimpan dendam. Dia juga pernah bilang bahwa dia tak memiliki kamus dengan kosakata yang lengkap. Top kekurangan satu kata dalam kamusnya, dan dia tak pernah berharap untuk mendapatkan kata itu. Kata itu adalah “Menyerah
            ‘Jangan pernah mengatakan kata itu di depanku, itu kata yang tabu bagiku!’ begitu kata Top.
            Mendekati ujian akhir semester. Aku masih santai dengan film dan gameku. Sementara Top belajar keras, ia ingin masuk 3 besar semester ini, mungkinkah jika dari 23? Aku tak tahu, tapi dia sangat yakin jika itu mungkin.
            ‘Jika bersama Tuhan, laut tanpa garam pun bisa jadi mungkin,’ kata Top.
            ‘Bagaimana jika itu hanya sekedar keberuntungan?’ tanyaku.
            ‘Keberuntungan bisa terjadi karena Tuhan yang menjadikannya,’ balas Top.
            Top sangat mengandalkan Tuhan. Tapi tidak berarti dia santai dan bermalas-malasan. Top tetap belajar dengan giat.
            Ujian pun semakin dekat. Ini 2 hari sebelum ujian berlagsung. Seluruh siswa diliburkan sebelum menghadapi ulangan. Tujuannya adalah agar siswa tidak tegang dan kelelahan sebelum ujian.
            Selama 2 hari libur aku datang ke rumah Top untuk belajar bersamanya. Disana aku dapat melihat betapa seriusnya Top dalam persiapan menghadapi ujian. Ketika kutanyakan padanya.
            ‘Ujian semester satu itu yang paling menentukan, karena nilai yang diperoleh masih murni,’ begitu kata Top.
            Aku bisa mengerti siswa rajin seperti dia.
            Saat ujian pun tiba, Top mengerjakan soalnya dengan serius. Sedangkan aku? Aku biasa-biasa saja. Top melirik kearahku dan tersenyum. Kupikir dia akan menyontek, ya, mencontek sudah menjadi hal yang biasa dikalangan siswa. Tapi tidak dengan Top, dia mengerjakan soalnya dengan jujur. Dia melirik kearahku untuk memberikan semangat. Yah, aku memang malas mengerjakan soal, semua orang pun akan tahu hal itu ketika melihat wajah malasku.
            Seminggu telah berlalu. Aku melihat papan pengumuman nilai. Aku mulai mencari namaku disekitar angka 11 sampai 20an. Aku tidak menemukannya,aku pun pindah ke atas. Dan sangat mengejutkan, aku nomor 1! Tak kusangka, aku peringkat 1 dengan nilai sempurna.
            ‘Hei! Seingatku dulu kau ranking 36, bagaimana bisa kau jadi ranking 1? Bagaimana bisa nilaimu tanpa celah sama sekali hah?!’ tanya Boi, teman sekelasku.
            Ketika kulihat lagi papan pengumuman nama Top tepat berada di bawahku. Aku pun segera mencari Top untuk mengucapkan selamat. Aku pergi ke kelas dan aku menemukannya.
            ‘Hai Top! Selamat, kau akhirnya masuk 3 besar!’ kataku.
            Tapi wajah Top terlihat tidak senang. Apa karena aku berada di atasnya?
            ‘Kau!’ Top terlihat marah padaku. ‘Bagaimana bisa kau mengkhianatiku?!’
            ‘Eh?’ aku memasang wajah bingung. Tidak! Aku memang sedang bingung dengan sikap Top.
            ‘Kau mencontek kan?!’ bentak Top.
            ‘...’
            ‘Itu bukan hasil kerjamu bukan?! Lantas apa gunanya selama ini kita belajar bersama? Apa gunanya kau jauh-jauh datang ke rumahku jika akhirnya akan begini?!’ lanjut Top.
            ‘I.. itu, aku...’ aku merasa susah berbicara.
            ‘Kau tahu kan jika mencontek itu curang?! Kau tahu kan, kalau itu perbuatan buruk?!’ Top semakin marah karena aku memasang wajah bodohi. Kelihatannya dia merasa dibodohi olehku.
            ‘...’ aku diam.
            ‘Huh! Bahkan gambar pada cermin yang berdiri di depanmu pun tahu kalau itu salah!’ Top mengatakannya lalu meninggalkanku.
            Gambar pada cermin yang tepat berada di depanku??? Gambar apa yang terlihat jika aku menaruh cermin di depanku??? ITU AKU!!! Ya, aku memang seharusnya tahu kalau mencontek itu buruk. Tapi mengapa aku melakukannya? Betapa bodohnya aku, melakukan sesuatu yang aku sendiri tahu kalau itu tak boleh dilakukan. Dan aku bahkan tak mempunyai kekuatan untuk mengakui perbuatanku di depan teman baikku sendiri. Betapa lemahnya aku?!
           Akhir-akhir ini aku menjauhi Top. Aku benar-benar malu padanya. Aku memang menang darinya. Ya tentu saja, aku ranking 1 sementara dia ranking 2. Tapi soal kepercayaan diri aku jelas kalah, aku tak percaya pada diriku sehingga aku melirik jawaban temanku. Aku merasa begitu licik, dan aku tahu bahwa Top terlalu baik untuk orang licik sepertiku.
            Selama satu semester aku menghindar dari Top. Aku mulai tak nyaman dengan kondisi ini. Aku pun memutuskan untuk memperbaiki hubungan dan mendapatkan kembali kepercayaan Top padaku. Tapi kurasa tidak mungkin mengembalikan kepercayaan seseorang hanya dengan berbicara dengannya. Aku perlu memberikan BUKTI yang nyata. Aku harus membuktikan pada Top bahwa aku juga bisa mendapat nilai bagus tanpa melirik jawaban temanku. Tekadku sudah bulat untuk tidak mencontek.
            Ujian kenaikan kelas pun tiba. Aku terus belajar dengan giat sepanjang malam. Aku merasa tidak nyaman dengan kesunyian saat aku belajar. Aku pun memasang headphone di telingaku. Memutar lagu-lagu rock yang sekiranya dapat membuatku semakin bersemangat.
            Saat ujian berlangsung aku dapat menjawab seluruh pertanyaan dengan mudah. Bahkan aku bisa memastikan nilaiku akan sempurna tanpa celah. Tapi apapun itu hasilnya aku akan merasa puas karena itu hasil kerjaku sendiri.
            Aku dengan sabar menunggu hasil ujian. Hari demi hari kulalui dengan senyuman. Aku membayangkan persahabatanku dengan Top kembali seperti dulu. Satu yang paling aku ingat adalah ketika aku mengajaknya nonton bola sampai larut malam, ia sangat gelisah dan selalu memandangi jam. Top orangnya agak ‘purba’, dia sangat disiplin dan taat peraturan, dan dia membuat peraturan untuk tidur sebelum jam 10 malam. Benar-benar berbeda dari siswa jaman sekarang.
            Hasil ujian pun telah keluar. Top diperingkat 1! Dan aku.... lama aku mencari. Lalu Boi menepuk pundakku dari belakang lalu ia berkata.
            ‘Hebat kamu! Nilaimu lagi-lagi sempurna tanpa celah! Bagaimana bisa?’ puji Boi.
            Hah?! Sempurna? Tanpa celah? Bagaimana bisa? Bukankah Top yang diperingkat 1? Seseorang menepuk bahuku dari belakang. Itu Top!!
            ‘Selamat, kali ini kau benar-benar nomor satu,’ kata Top sambil tersenyum.
            ‘Hah?’ aku masih bingung, lalu aku membalikkan badan dan melihat papan pengumuman sekali lagi. Aku menyipitkan mataku.
            WHOA..??!! Aku nomor 1??!! Sepertinya papan pengumuman terlalu tinggi sehingga aku hanya bisa melihat nomor 2 kebawah. Dan tanpa kusadari namaku ada di urutan paling atas.
            Aku merasa sangat senang karena bisa berada di urutan teratas tanpa mencontek. Dan aku lebih bahagia lagi karena Top sudah kembali tersenyum kepadaku.
            ‘Baguslah jika kau sudah mengerti bahwa yang benar tidak selalu baik,’ kata Top.
            Kini aku sudah merasakan bagaimana rasanya kehilangan kepercayaan dari seorang teman. Sangat tidak nyaman. Dan untungnya aku memiliki kamus yang sama tidak lengkapnya dengan milik Top. Sehingga aku tak pernah menyerah untuk mendapatkan apa yang aku inginkan.
            Aku kembali berjalan pulang bersama Top. Aku melihat kearah langit biru, aku tahu Tuhan berada disana. Terima kasih Tuhan, telah memberiku kesempatan sekali lagi untuk mendapat kepercayaan dari seorang teman. Fin.